SELAMAT DATANG

ASLKM ,,,,

LAZ AR-RAHMAH MAKASSAR YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENGUMPULAN DAN PENDISTRIBUSIAN ZAKAT, INFAQ,DAN SEDEKAH, MENAWARKAN KEPADA BAPAK, IBU, SAUDARA, TEMAN-TEMAN UNTUK MENJADI DONATUR DI LEMBAGA KAMI..BAGI YANG BERMINAT BISA MENGHUBUNGI KAMI DI NO

.0411 514 810

(082188950648),,

(085 256 668 824)

BISA DIJEMPUT ATAU MELALUI REKENING BANK MUAMALAT (ZISWAF) : 801.13157.22 A.N PRIHASTUTI BDN LAZ AR-RAHMAH

"SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN PAHALA ATAS APA YANG ANDA BERIKAN DAN MEMBERIKAN KEBERKAHAN PADA REZEKI YANG TERSISA "( HR.NASA'I )

ALAMAT KANTOR : JL.PAJJAIYANG NO.17 B DAYA KEC.BIRINGKANAYYA MAKASSAR

Email : lazarrahmah@gmail.com

Jumat, 30 Maret 2012

ZAKAT DAN EKONOMI

Sudah sangat jelas, zakat merupakan salah satu ajaran pokok Islam.Dalam kerangka fikih (Hukum Islam) disebut salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat berhubungan erat dengan harta atau kekayaan yang dimiliki. Sejumlah jenis kekayaan ( harta benda) apabila sudah sampai nisab ( batas atau kadar tertentu dianggap cukup),diambil sebagiannya untuk diberikan kepada pihak lain.Ayat ayat Al-Quran
menyebutkan : ”Dirikanlah shalat dan tunaikan pula zakat”. Dalam sebagian besar untaian ayat ayat Al-Quran, hubungan antar shalat dan zakat sangat padu. Hal demikian dapat dimaknai bahwa shalat dan zakat sama pentingnya dalam tuntunan Islam.
Secara akidah-syariah kedua amal tersebut termasuk kategori ibadah mahdhah, yakni amal ibadah dalam dimensi hubungan makhluk dengan Khalik. Namun menyangkut zakat dimensi hubungan antara sesama makhluk terasa sangat kental dan menonjol. Lalu bagaimana kita melihat relefansi antara zakat dengan ekonomi ?.Zakat jelas ajaran agama (Islam). Ekonomi dan masalah ekonomi sering dipahami sebagai
ajaran ”sekuler”, keduniaan. Sebagian orang yang hidup secara zuhud (ahli zahid dan ”abid”), sering menyepelekan masalah ekonomi. Sesungguhnya Islam dan ajaran ajarannya tidak pernah mendikotomikan antar persoalan duniawi dengan ukhrawi. Dalam hadis hadis nabi Saw sering juga diungkapkan bahwa ”dunia” sebagai ladang untuk bekal akhirat. Sangat jelas bagi kita, melalui jalan raya dunia kita meniti ke akhirat. Inilah hakikat makna doa yang setiap habis waktu shalat kita lantunkan : ” Rabbana aatinaa fid
dunya hasanah wafil akhirati hasanah”.
Seorang imam fikih besar Abu Hanifah adalah orang yang cukup sukses dalam bidang ekonomi, seorang konglemerat sutra yang sangat saleh dan wara’. Beliau mengingatkan muridnya Imam Abu Yusuf supaya dapat hidup mandiri, tidak tergantung pada Pemerintah yang pada zamannya sudah cenderung korup. Sebagian amaliah kita harus didukung harta atau kekayaan sebagai sumber pengembangan ekonomi. Ibadah shalat saja tidak sempurna (tidak sah) jika tidak menutupi auarat, yang memerlukan harta (uang) untuk membeli kain. Bagi masyarakat muslim yang jauh dari kota Mekah, nihil sama sekali untuk dapat menunaikan rukun Islam yang kelima (haji), tanpa dukungan finansial yang memadai. Apalagi sejumlah
amal ibadah lain seperti infak dalam rangka menyantuni fakir miskin dan anak yatim, sadaqah ,kurban,tidak mungkin sama sekali ditunaikan tanpa uang, harta, dan kekayaan bendawi lainnya. Disamping ibadah mahdhah, kategori ibadah grairu mahdhah (ibadah dimensi sosial lebih menonjol) sering terabaikan oleh umat Islam, alasan karena tidak mampu atau miskin.
Kekayaan yang dimiliki berhubungan erat dengan ekonomi. Ekonomi dan ilmu ekonomi dengan semua mazhabnya, memang bertujuan dan berupaya menyejahterakan hidup masyarakat. Dengan demikian dapat pula dipahami bahwa secara subtansial ajaran Islam, umat Islam dosa besar jika mengabaikan masalah ekonomi. Di kalangan umat Islam idealnya ada ”ekonom ekonom ” tangguh, baik yang bergerak pada tataran konsep maupun yang bergiat pada tataran aksi untuk menyejahterakan hidup umat. Fenomena kehidupan kaum muslimin kini sungguh memprihatinkan. Negeri negeri muslim adalah negeri yang melimpah kekayaan sumber daya alam (SDA). Dimana mana umat Islam banyak yang diterjang oleh kemiskinan. Hidup kita melarat dan terlunta lunta. Mengapa kita menjadi demikian hina dan dihinakan ?. Jawabannya
mungkin kita salah mengurus atau tidak bersyukur atas kekayaan melimpah yang diberikan Tuhan.
Pada hakikatnya umat Islam tidak akan ada yang yang hidup melarat,nderita seandainya konsep zakat dan ekonomi mampu kita kemas dan kita tata dengan sempurna. Seorang pakar DR.Bukhari Alma dalam bukunya “ Islam dan Bisnis” menyebutkan, betapa penting umat islam harus mampu menata sistem ekonominya dan 9/10 % rizki yang dilimpahkan Tuhan ada dalam bidang bisnis, salah satu sisi penting sistem ekonomi yang harus dikembangkan. Hal ini tentu saja menuntut umat islam, mengupayakan menata kembali sistem ekonominya. Dalam menemukan model sistem ekonomi alternatip ‘yakni” sistem ekonomi Islam”, sering disebutkan, zakat sebagai ujung tombak pengembangan ekonomi Islam.

Rabu, 28 Maret 2012

Hikmah di Balik Zakat


Pertama, zakat membersihkan jiwa dari sifat kikir. Kikir adalah tabiat manusia (Al-Ma'arij [70]: 19), yang harus diuji. Kikir merupakan salah satu sifat yang dapat merusak kehidupan manusia. "Tiga hal yang akan merusak manusia: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan manusia memandang hebat akan dirinya." (HR Thabrani).

Kedua, mengobati hati dari cinta dunia. Terlalu larut dalam kecintaan dunia, dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah SWT dan takut akan akhirat. Zakat akan melatih seseorang mau untuk menandingi fitnah harta dan berinfak dengannya semata karena Allah SWT.

Ketiga, mengembangkan kekayaan batin. Seseorang yang mengeluarkan zakat akan menumbuhkan semangat optimistis dan menambah kekayaan jiwa. Dengan zakat berarti seseorang telah mampu mene kan sifat egoismenya.

Keempat, mengembangkan harta. Secara lahiriah, zakat mengurangi harta dengan mengeluarkan sebagiannya. Tetapi, orang yang mengerti tentang zakat akan memahami bahwa di balik pengurangan bersifat zahir, hakikatnya akan bertambah dan berkembang.
Sesungguhnya harta yang diberikan itu akan kembali berlipat ganda. (QS Arrum [30]: 39).

Kelima, menarik simpati masyarakat. Zakat dapat mengikat antara orang kaya dan masyarakatnya, dengan ikatan yang kuat, penuh kecintaan, persaudaraan, dan tolong-meno long. Apabila manusia mengetahui ada orang yang memberikan kebaikan, maka secara naluriah mereka akan senang, dan jiwa mereka pasti akan tertarik kepadanya.

"Secara otomatis hati akan tertarik untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya." (HR Ibnu Adi). Untuk itu, kini saatnya umat Islam memberdayakan potensi zakat, terutama zakat mal, agar kehidupan bermasyarakat semakin baik guna mengurangi kesenjangan hidup antara si kaya dan si miskin. Wallahu a'lam.


Selasa, 27 Maret 2012

solusi krisis ekonomi global




SOLUSI ISLAM UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.
Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.
Beberapa instrumen ekonomi Islam diantaranya adalah zakat serta sistem mata uang dinar dan dirham yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai gejolak perekonomian maupun finansial, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah masa kejayaan Islam ketika institusi kepemimpinan Islam (khilafah) masih berdiri.
ZAKAT
Zakat sebagai salah satu pilar (rukun) Islam merupakan instrumen strategis dari sistem perekonomian Islam yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap penanganan problem kemiskinan serta problem sosial lainnya, karena zakat dalam pandangan Islam merupakan “hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya’. Sebagai sebuah kewajiban, maka zakat merupakan kewajiban minimal dari harta seorang muslim, yang menurut DR. Didin Hafidhuddin “zakat adalah batas kekikiran seorang muslim”.
Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi, zakat merupakan suatu sistem yang belum pernah ada pada agama selain Islam juga dalam peraturan-peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Alloh Swt.
Zakat tidak hanya difahami secara sempit yang hanya ditunaikan setahun sekali pada momentum bulan Ramadlan melalui pembayaran zakat fitrah, akan tetapi ruang lingkup zakat sangatlah luas. Selain zakat fitrah, seorang muslim yang telah masuk pada kategori ‘muzzaki’ yang kekayaannya telah mencapai ‘nishab’ (jumlah minimal yang harus dipenuhi sebelum mengeluarkan zakat yaitu senilai 85 gram emas) dan harus dibayarkan setiap tahun, juga wajib menunaikan zakat maal (zakat kekayaan) yang menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi meliputi: Zakat binatang ternak; Zakat emas dan perak/zakat uang; Zakat kekayaan dagang; Zakat pertanian; Zakat madu dan produksi hewani; Zakat barang tambang dan hasil laut; Zakat investasi pabrik, gedung, dll; Zakat pencarian dan profesi; serta Zakat saham dan obligasi.

Secara teknis, pemungutan dan pendistribusian zakat akan sangat efektif jika dilakukan oleh sebuah lembaga yang mempunyai otorisasi serta kekuatan memaksa dalam sebuah pemerintahan. Bagian dari institusi pemerintah yang berkompeten melakukan pemungutan zakat yaitu Badan Amil Zakat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Alloh Swt dalam firman-Nya dalam Surat At-Taubah (9) ayat 103:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sejarah mencatat, bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat merupakan fokus utama kepedulian dari para pemimpin Islam. Betapa besarnya kepedulian para pemimpin Islam terhadap persoalan tersebut diantaranya diperlihatkan oleh sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra sebagaimana terlihat dari komitmennya melalui pidato sesaat setelah pengukuhan sebagai Khalifah pertama sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, dimana beliau mengatakan:
“.......yang terlemah diantara kamu aku anggap terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya, yang terkuat diantara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengembalikan hak si lemah dari tangannya....…”.

Komitmen serta sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra tersebut kemudian terlihat melalui implementasi salah satu programnya dalam penanganan zakat, dan beliau mengambil sikap tegas terhadap para pihak dari kalangan muslim yang masih enggan menunaikan kewajiban zakat. Secara konsisten kebijakan tersebut kemudian diteruskan secara estapeta oleh para khalifah sesudahnya.
Dalam implementasi sistem pemerintahan Islam, pengelolaan zakat ternyata tidak hanya mampu meminimalisir angka kemiskinan, bahkan sampai mampu mengeliminir tingkat kemiskinan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Karena dengan zakat, status sosial warga negara yang semula merupakan pihak yang berhak menerima zakat (mustahik), berubah status menjadi pihak yang berkewajiban menunaikan zakat (muzzaki), dimana warga negara bersangkutan telah bergeser dari miskin menjadi kaya.
Sejarah monumental masa kepemimpinan Islam zaman kekhilafahan Daulat Umayyah yaitu saat Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) memimpin-yang walaupun singkat, selama 2,5 tahun (30 bulan) telah membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat secara merata benar-benar terwujud.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Umar bin Abdul Aziz Perombak Wajah Pemerintahan Islam”, tulisan Imaduddin Kholil yang diterbitkan oleh Pustaka Mantiq, Solo (1992) pada halaman 142-144: “Pada masanya keamanan dirasakan oleh setiap penduduk dimanapun mereka berada di wilayah kedaulatan Islamiyah. Hampir semua warga negara menjadi kaya. Saat itu tidak lagi ditemukan fakir miskin yang berhak menerima zakat dan shadaqah. Keadaan ini membuat para orang kaya kesulitan untuk memecahkan persoalan, kewajiban yang harus ditunaikan. Kesejahteraan yang merata dapat dicerminkan lewat ucapan Yahya bin Said, amil zakat dari Khalifah untuk daerah Afrika, beliau berkata: ‘Aku diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengelola zakat di Afrika. Setelah terkumpul semua, aku kebingungan mencari siapa yang harus kuberi. Di sana tiada seorangpun yang fakir dan yang mau menerima pemberian pembagian zakat. Itu disebabkan Umar telah membuat kaya penduduknya. Dan akhirnya zakat itupun kupakai untuk menebus para budak, membebaskan mereka dan menggabungkannya dengan para muslimin yang lain’.

Problem kemiskinan yang semakin hari semakin tak terkendali, sesungguhnya terletak pada besarnya ketimpangan (disparitas) kekayaan antara yang kaya dan miskin. Dalam pengimplementasian zakat, persoalan pendistribusiannya yang tepat sasaran sesuai dengan para fihak yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah ditetapkan Al Quran akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mendokrak tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang masih terbelit dengan belenggu kemiskinan harta.
Dalam pandangan Islam, sasaran zakat merupakan hal sangat penting, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk menentukan sasaran zakat seakan-akan Alloh tidak rela bila Rasulullah Saw sendiri yang menetapkannya, sehingga Alloh Swt menurunkan ayat ke-60 dalam Al-Quran Surat At-Taubah, dimana disebutkan 8 sasaran (asnaf) untuk pendistribusian zakat yaitu:
(1) Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya;
(2) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap atau dua suap nasi, satu atau dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang".
Berkenaan dengan golongan fakir dan miskin, DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan beberapa hal:
  • Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat;
  • Dengan demikian jelas bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi dimaksudkan untuk memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Alloh Swt sebagai khalifah di muka bumi, dan layak sebagai muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia;
  • Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.
(3) Pengurus zakat (Amil zakat): adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Alloh Swt menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai ashnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang secara individu, tapi merupakan tugas jama’ah bahkan menjadi tugas negara.
(4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 
(5) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 
(6) Orang yang berhutang (gharimin): yaitu orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Juga orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain, seperti untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
(7) Untuk kepentingan sabilillah (pada jalan Allah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
(8) Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang perjalannya tidak dimaksudkan untuk maksiat dan dia mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Pengimplementasian zakat yang profesional, transparan dan akuntabel akan berimplikasi terhadap lancarnya perputaran perekonomian, karena dengan memobilisasi potensi dana umat dari zakat tersebut harta tidak lagi hanya berputar di kalangan para pihak yang memiliki kekayaan saja, akan tetapi terdistribusi secara adil. Pendistribusian zakat secara tepat sasaran juga dapat memberikan akses produktif bagi orang-orang miskin.
Pada sisi ini kita dapat melihat bahwa betapa indahnya ajaran Islam yang sangat peduli terhadap persoalan sosial kemasyarakatan.  

SISTEM MATA UANG DINAR DAN DIRHAM
Instrumen kedua yang sangat strategis dalam perekonomian Islam adalah sistem mata uang dinar dan dirham. Hal ini mengingat bahwa sistem moneter dalam Islam adalah berbasis emas dan perak. Diterapkannya sistem perdagangan dengan menggunakan emas dan perak dalam mata uang dinar (Gold dinar) dan dirham dalam kekhilafahan Islam telah membuktikan terkendalinya angka inflasi. 
Inflasi sesungguhnya merupakan suatu kemudlaratan ekonomi yang sejatinya harus ditekan, karena dengan terjadinya inflasi berarti telah terjadi sebuah fenomena yang signifikan terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat. Dengan demikian, maka penerapan sistem mata uang dinar dan dirham secara luas, akan ikut mengurangi tingkat inflasi yang selama ini terus membayangi sistem perekonomian berbagai negara akibat penerapan sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang menggunakan uang kertas (fiat money) yang tak terkendali. Sehingga berkurangnya angka inflasi sebagai dampak positif dari diterapkannya gold dinar, sesungguhnya merupakan upaya menghilangkan belenggu kemiskinan masyarakat.

Dengan demikian, maka jika stabilitas perekonomian suatu negara ingin terwujud, solusi jitunya adalah dengan “bergantinya penggunaan sistem keuangan dari uang kertas ke uang emas”. Kita yakin bahwa sejalan dengan akan kembalinya kejayaan Islam dan umatnya untuk kali ke dua, penerapan kembali dinar dan dirham juga merupakan suatu keniscayaan, karena penerapan dinar akan menciptakan kemashlahatan dan keadilan ekonomi. 
Jika kita simak, ternyata dengan diterapkannya mata uang dinar dan dirham akan didapatkan beberapa keunggulan, baik secara mikro maupun makro ekonomi, diantaranya:  
  • Gold dinar memiliki stabilitas tinggi yang nilainya tidak fluktuatif sehingga jika dikomparasi dengan mata uang lainnya tidak akan terdepresiasi bahkan terus terapresiasi. Sejarah telah membuktikan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw, harga seekor ayam harganya satu dirham, dimana dengan uang yang sama (satu dirham saat ini setara dengan tiga gram perak), seekor ayam masih bisa kita dibeli. Hal ini membuktikan bahwa emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan extra ordinary currency (anti inflasi). Sehingga pada masa kerasulan Muhammad Saw yang dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya dalam pengelolaan pemerintahannya sangat jarang terjadi resesi ekonomi.
  • Gold dinar merupakan mata uang yang berbasis komoditi (commodity money), karena adanya keseimbangan antara nilai instrinsik dengan nilai nominal yang terdapat pada gold dinar. Bahkan nilai instrinsik dari gold dinar merupakan garansi dan perlindungan jika terjadinya situasi eksternal yang tidak diinginkan.
  • Penerapan dinar dan dirham akan terhindarkan dari upaya menjadikan uang sebagai komoditas. Krisis ekonomi global saat ini diantaranya terjadi karena tidak difungsikannya secara penuh uang sebagaimana mestinya sebagai alat tukar, akan tetapi telah bergeser menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga sangat menguntungkan bagi para spekulan pada berbagai transaksi maya di pasar uang. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi para pihak yang memiliki dana banyak untuk mengendalikan pasar uang, sehingga terjadilah ketergantungan suatu negara yang labil dalam hal politik maupun ekonominya terhadap negara yang memiliki power. Secara politis, penerapan gold dinar dalam sistem keuangan suatu negara akan memandirikan suatu negara, sehingga tidak lagi tergantung pada dominasi negara luar. Karena penerapan sistem ekonomi dengan menggunakan keuangan gold dinar, berarti menerapkan sistem ekonomi berbasis keadilan (fairness), yang mana faktor keadilan ini tidak dimiliki oleh sistem manapun selain sistem Islam.
  • Tidak seperti halnya mata uang kertas yang sangat mudah untuk dipalsukan, maka penggunaan gold dinar dapat menghilangkan upaya pemalsuan uang dari pihak-pihak tertentu.
Tidak terjadinya jurang pemisah yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin dengan terdistribusinya pendapatan melalui pengelolaan zakat yang tepat sasaran serta diberlakukannya mata uang dinar dan dirham akan menjadikan sebuah keseimbangan antara sektor finansial dengan sektor riil, karena jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian, sehingga perkembangan sektor keuangan tidak akan berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor ril. Hal ini akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus terciptanya stabilitas ekonomi masyarakat.

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor ril. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor ril merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor ril, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor ril.
Dengan diterapkannya sistem ekonomi syari’ah, maka kita akan terhindar dari gharar (spekulasi); maisyir maupun riba, sehingga keberkahan Alloh Swt akan dirasakan bersama, sebagaimana yang Alloh Swt ingatkan dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 96:“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. 
Dalam menghadapi berbagai malapetaka (fitnah) sekarang ini, terutama menghadapi krisis ekonomi global yang konstelasinya cenderung terus memburuk, beberapa peringatan dari lisan seorang yang suci, Muhammad Saw kiranya perlu kita renungkan bersama:
Peringatan Pertama : Hadits Riwayat Ibnu Majah; Al-Bazar; Al-Hakim; Al-Baihaqi dan Abu Nu’aim : “Wahai kaum muhajirin, ada lima hal yang aku berlindung kepada Alloh agar kalian tidak mengalaminya:
  • Tidaklah perbuatan keji (zina) nampak pada suatu kaum hingga mereka terang-terangan melakukannya, melainkan mereka akan ditimpa berbagai macam wabah penyakit (tha’un) dan kelaparan yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka;
  • Tidaklah suatu kaum yang mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa ‘as-sinin’ (paceklik, kemarau panjang), sulitnya mendapatkan makanan, dan jahatnya (sikap zhalim) penguasa terhadap mereka;
  • Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta mereka, melainkan akan terhalang hujan dari langit, kalau saja bukan karena binatang, niscaya tidak diturunkan hujan atas mereka;
  • Tidaklah suatu kaum melanggar janji Alloh dan Rasul-Nya, melainkan Alloh menjadikan mereka dikuasai musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, kemudian musuh mereka itu akan mengambil harta yang mereka miliki;
  • Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Alloh dan memilih-milih apa yang Alloh turunkan didalam kitab-Nya, niscaya Alloh akan menjadikan al-ba’s (bala bencana, kekerasan dan keributan) terjadi di tengah-tengah mereka”.
Peringatan Kedua : Hadits Riwayat Ibnu Najar (Dalam Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal):
“Tidaklah Alloh murka terhadap suatu umat, kecuali akan dinaikkannya harga-harga, hancurnya pasar (dimana angka inflasi tinggi sedangkan daya beli masyarakat rendah) serta akan lebih banyak berbagai bentuk kemungkaran, dan semakin hebatnya penyelewengan-penyelewengan di bidang hukum yang dilakukan oleh para penguasa. Maka sebagai akibat dari kondisi seperti itu orang-orang kaya tidak lagi menunaikan kewajiban berzakat; para penguasa tidak lagi memiliki harga diri (karena hilangnya rasa malu) serta orang-orang fakir (miskin) tidak lagi melaksanakan kewajiban shalat”.
Oleh karena itu, tiada jalan lain untuk dapat keluar dari berbagai persoalan hidup termasuk krisis ekonomi global sekarang ini yaitu dengan kembali pada penerapan sistem Islam dalam berbagai lapangan kehidupan. Tiada lagi yang diagungkan kecuali hanya Alloh Swt yang dengan kegagahan-Nya berada di atas ketinggian, di atas Arsy-Nya yang agung. Dia-lah yang mengetahui berbagai kelemahan dan persoalan hamba-Nya. Dengan kasih sayang-Nya, Alloh Swt telah memilih Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan untuk menuntun manusia agar terselamatkan.
Mengakhiri tulisan ini, sebuah ungkapan dari Umar bin Kaththab ra kiranya perlu kita simak bersama, dimana beliau pernah berujar: “Dahulu kami adalah kaum yang paling hina, lalu kami dimuliakan Alloh dengan Islam. Andaikan kami mencari kemuliaan dengan selain apa yang Alloh muliakan, tentu Alloh akan menghinakan kami”.  
Wallohu a'lam

KEKAYAAN YANG WAJIB DIZAKATI


KEKAYAAN YANG WAJIB DIZAKATI
Jenis-jenis kekayaan yg disebutkan dan diperingatkan Alquran utk dikeluarkan zakatnya adl sebagai berikut.
  •    Emas dan Perak Allah SWT berfirman “Dan orang-orang yg menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah berilah kabar gembira dgn mendapatkan siksa yg pedih. Yakni pada hari emas dan perak itu dipanaskan di neraka Jahannam kemudian diseterikakan ke kening pinggang dan punggung mereka. ‘Inilah harta yg kamu simpan-simpan buat dirimu.’ Nah rasakanlah hasil simpananmu itu.
  • Tanaman dan Buah-buahan Allah SWT tegaskan dalam Alquran “.. Makanlah sebagian buahnya bila berbuah dan bayarlah hak tanaman itu waktu menanamnya..” .
  •  Usaha seperti Usaha Dagang dan Lain-Lain Allah berfirman “Wahai orang-orang yg beriman keluarkanlah sebagian yg baik dari penghasilanmu..”
  • Barang-Barang Tambang yg Dikelurkan dari Perut Bumi Allah berfirman “..dan sebagian di antara yg Kami keluarkan dari perut bumi..” . Selain dari yg disebutkan itu Alquran hanya merumuskan apa yg wajib dizakati itu dgn rumusan yg sangat umum yaitu dgn kata-kata “kekayaan” seperti firman-Nya “Ambillah olehmu zakat dari kekayaan mereka engkau bersihkan dan engkau sucikan mereka dengannya.” . Dan firman Allah SWT “Di dalam kekayaan mereka terdapat hak peminta-peminta dan orang yg melarat.”
Apa sebenarnya yg dimaksudkan Alquran dan hadis dgn kekayaan itu? Kekayaan itu merupakan terjemahan dari bahasa Arab amwaal. Ia merupakan bentuk jamak dari kata maal. Menurut orang Arab yg dgn bahasanya Alquran itu diturunkan kekayaan adl segala sesuatu yg diinginkan manusia utk disimpan dan dimilikinya. Dengan demikian unta sapi kambing tanah kelapa emas dan perak adl kekayaan. Oleh krn itu ensiklopedi-ensiklopedi di Arab mislanya al-Qamus al-Muhith dan Lisanul Arab mengatakan bahwa kekayaan adl segala sesuatu yg dimiliki. Namun orang-orang desa sering menghubungkannya dgn ternak dan orang-orang kota sering menghubungkannya dgn emas dan perak . Akan tetapi semuanya adl kekayaan.
Adapun menurut ulama fikih mereka berselisih mengenai arti dari kekayaan itu. Namun demikian dari perbedaan pendapat itu yg kita pegang dalam masalah wajib zakat ini adl sesuatu yg berwujud dan itulah yg terkena kewajiban zakat. Syarat-Syarat Kekayaan yg Wajib Dizakati Milik Penuh Maksudnya adl bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya atau seperti yg dinyatakan oleh sebagian ahli fikih bahwa kekayaan itu harus berada di tangannya tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dia ni’mati. Oleh krn itu mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat apabila barang yg dibelinya belum sampai di tangannya atau barangnya sedang digadaikan kepada orang lain sampai barang itu kembali ke tangan pemiliknya.
Mengenai kekayaan yg bersumber dari barang yg haram para ulama berpendapat bahwa seandainya suatu kekayaan yg kotor itu sampai senishab zakat tidaklah wajib atas kekayaan itu. Karena kekayaan itu harus dibebaskan dari tugasnya dgn mengembalikannya kepada yg berhak atau kepada ahli warisnya bila diketahui tetapi bila tidak diketahui diberikan kepada fakir miskin. Dalam hal ini seluruh kekayaan itu harus disedekahkan tidak sebagiannya saja. Rasullullah saw. bersabda mengenai hal ini “Allah tidak akan menerima sedekah dari kekayaan ghulul.” Ghulul adl kekayaan yg diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum seperti rampasan perang dan lain-lain. Para ulama juga berpendapat bahwa menyedekahkan sesuatu yg haram tidaklah diterima krn yg disedekahkan itu bukanlah milik orang yg menyedekahkannya dan orang itu tidak sah melakukan sesuatu atas barang tersebut.
Berkembang Maksudnya adl kekayaan itu dikembangkan dgn sengaja atau mempunyai potensi utk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa sekarang adl bahwa sifat kekayaan itu harus memberikan keuntungan ataupun pemasukan sesuai dgn istilah-istilah yg dipergunakan oleh ahli-ahli perpajakan. Atau kekayaan itu berkembang dgn sendiri artinya bertambah dan menghasilkan produksi. Syarat kedua ini sengaja ditetapkan lantaran Nabi saw. tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yg dimiliki utk kepentingan pribadi sebagaimana ditegaskan beliau dalam sabdanya “Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya.”
Sudah Sampai Satu Nisab Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yg berkembang sekalipun kecil sekali tetapi memberikan ketentuan sendiri yaitu sejumlah tertentu yg dalam ilmu fikih disebut nishab sebagaimana yg dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi saw. dalam masalah nishab harta yg wajib dizakati. Hikmah adanya penentuan syarat ini adl bahwa zakat merupakan pajak yg dikenakan atas orang kaya utk bantuan kepada orang miskin dan utk berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Oleh krn itu zakat harus dipetik dari kekayaan yg mampu memikul kewajiban itu dan menjadi tidak ada artinya apabila orang miskin juga dikenakan pajak sementara ia sangat memerlukan bantuan bukan membantu. Sehingga dari sini Nabi saw. bersabda “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya.” .
Lebih dari Kebutuhan Hal inilah yg menandai bahwa seseorang bisa disebut kaya dan meni’mati kehidupan yg tergolong mewah apabila ia mempunyai harta yg melebihi dari kebutuhan pokok/rutin. Yang dikatakan di sini hanyalah “lebih dari kebutuhan pokok/rutin”. Sebab kebutuhan-kebutuhan manusia sesungguhnya sangat banyak dan tidak terbatas terutama pada masa kita sekarang yg menganggap barang-barang mewah sebagai kebutuhan dan tiap kebutuhan berarti primer. Oleh krn itu tiap yg diinginkan oleh manusia tidaklah bisa disebut sebagai kebutuhan rutin/pokok. Umumnya sekalipun sudah mempunyai dua gunung emas manusia akan tetap mencari tambahan segunung lagi. Akan tetapi yg dimaksud dgn kebutuhan rutin/pokok adl sesuatu yg harus ada utk ketahanan hidupnya seperti makanan pakaian minuman perumahan dan alat-alat yg diperlukan utk itu seperti buku-buku ilmu pengetahuan dan keterampilan serta alat-alat kerja dan lain-lain.
Bebas dari Hutang Pemilikan sempurna yg dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lbh dari kebutuhan primer di atas haruslah pula cukup senisab yg sudah bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yg menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab itu zakat tidaklah wajib. Jumhurul ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat atau paling tidak mengurangi ketentuan wajibnya dalam kasus kekayaan tersimpan seperti uang dan harta perniagaan. Demikian juga pendapat Atha’ Sulaiman bin Yasar Hasan Nakha’i Laits Malik Tsauri Auza’i Ahmad Ishaq Abu Tsaur Abu Hanifah dan kawan-kawannya. Hanya Rabi’ah Hamad bin Sulaiman dan Syafi’i dalam fatwa barunya menentangnya.
Tetapi mengenai kekayaan yg kelihatan seperti ternak dan hasil pertanian sebagian ahli fikih berpendapat bahwa hutang tidaklah menghalangi kekayaan yg wajib dizakati itu. Mereka membedakan kekayaan yg kelihatan dari kekayaan yg tidak kelihatan . Sebab hubungan zakat lbh kuat kepada kekayaan yg kelihatan krn lbh nyata dan lbh menggugah perasaan orang-orang miskin. Sebab itulah datang ketentuan utk mengirim petugas-petugas guna mengambil zakat kekayaan seperti itu dari pemiliknya sebagaimana yg dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.
Berlalu Setahun Maksudnya adl bahwa pemilikan yg berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya sampai dua belas bulan Qamariyah. Persyaratan setahun ini hanya berlaku buat ternak uang dan harta perniagaan yaitu kelompok harta yg dapat dimasukkan ke dalam istilah “zakat modal”. Akan tetapi hasil pertanian buah-buahan madu logam mulia harta karun dan lain-lainnya yg sejenis tidaklah dipersyaratkan setahun dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah “zakat pendapatan.” Dari Ibnu Umar r.a. Nabi saw. bersabda “Tidak ada zakat atas kekayaan sehingga berlalu satu tahun.” . .

Senin, 26 Maret 2012

Zakat dan Kedudukannya dalam Islam


Apabila Islam datang sebagai agama penyudah,“zakat” telah dijadikan sebagai salah satu rukunnya yang lima. Ia merupakan suatu peningkatan kepada sistem yang telah sedia ada di bawah agama-agama langit sebelum itu, yaitu “Ihsan”.  Walaupun kedua sistem ini ada persamaannya dalam sifat sebagai sumbangan pihak yang berada kepada golongan yang memerlukan, namun zakat adalah hak yang  boleh dituntut oleh mereka yang berhak menerimanya, berbanding Ihsan yang  lebih  bersifat sumbangan sukarela saja. Peningkatan ini banyak berasaskan kepada hakikat Islam adalah suatu agama dan cara hidup, atau diistilahkan oleh sebagian orang sebagai ad-Din  
Agama-agama langit terdahulu hanya bersifat agama saja, kerana itu sumbangan yang diperlukan lebih bersifat keagamaan semata-mata,yaitu Ihsan, atau boleh diterjemahkan sebagai derma simpati. Sedangkan zakat mengandungi dua sifat sekaligus, yaitu kewajipan keagamaan dan pada waktu yang sama kewajipan kenegaraan. Sebagai kewajipan agama, orang yang menafikannya dianggap sebagai pendusta agama, dan sebagai kewajipaan kenegaraan, orang  yang  gagal menunaikannya boleh dihukum, sementara mereka yang menentangnya secara berkumpulan boleh diperangi sebagai kumpulan pendurhaka.
Kerana itulah institusi zakat tidaklah merupakan institusi agama atau masyarakat semata-mata, tetapi lebih dari pada itu merupakan juga institusi pentadbiran dan pemerintahan negara. Berasaskan kepada sifatnya ini al-Quran memerintahkan supaya ia diurus oleh pemerintah dan negara sebagai suatu sistem keuwangan yang tersusun, dan tidak boleh dibiarkan orang perseorangan atau kumpulan masyarakat untuk melaksanakannya.
Dengan kata lain, Ia bukan urusan individu, atau kelompok masyarakat, tetapi lebih dari itu kerja pemerintah dan negara. Dari perspektif ini skop penglihatan kepada kewajipan zakat ini tidak boleh difokuskan kepada aspek kewajipan memberi atau menunaikannya saja, tetapi juga kepada aspek pentadbiran dan penguatkuasaannya juga. Berasaskan kepada kedudukan inilah maka sejak di zaman Rasulullah s.a.w. lagi para pegawai senantiasa diantar ke daerah-daerah bagi tujuan, antara lain mengurus pentadbiran zakat sebagai sebagian dari pada pentadbiran negara. Berasaskan kepada kedudukan inilah juga maka para sarjana keuwangan Islam, seperti Abu Yusuf, al-Mawardi,  Abu Ya’la, Abu ‘Ubaid dan banyak lainnya biasanya membahas tentang zakat bukan dalam bab ibadat, tetapi dalam bab keuwangan dan percukaian.
Pengertian zakat Zakat menurut bahasa ialah: Kata zakat merupakan kata dasar dari (masdar) dari Zaka yang berarti Keberkatan, kesucian, perkembangan dan kebaikan. Sebab dinamakan zakat ialah kerana ia dapat mengembangkan harta yang telah dikeluarkan zakatnya dan menjauhkannya dari segala kerusakan sebagaimana Ibnu Taimiah berkata: Diri dan harta orang yang mengeluarkan zakat menjadi suci dan bersih serta hartanya berkembang secara maknawi.
Pengertian zakat dari sudut syarak ialah: Sebahagian harta tertentu yang telah diwajibkan oleh Allah s.w.t untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam al-Quran atau ia juga boleh diertikan dengan kadar tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu dan lafaz zakat juga digunakan terhadap bahagian tertentu yang dikeluarkan dari harta orang yang wajib mengeluarkan zakat. Zakat Syar’ie kadang kala dinamakan sedekah di dalam bahasa al-Quran dan Hadis sebagaimana Firman Allah s.w.t: ) خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ(
artinya: Ambillah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), supaya dengannya engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk) dan doakanlah untuk mereka, kerana sesungguhnya do’amu itu menjadi ketenteraman bagi mereka. (Surah at-Taubah, Ayat: 103).
Manakala di dalam Hadis Sahih pula, Rasulullah s.a.w bersabda kepada Muaz ketika baginda mengutuskannya ke Yaman: (Beritahulah kepada mereka bahawa Allah s.w.t mewajibkan mereka mengeluarkan sedekah (zakat) dari harta mereka, sedekah tersebut diambil daripada orang yang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang yang miskin di kalangan mereka). Hadis ini dikeluarkan oleh jemaah ahli hadis.
Orang Miskin dan kebudayaan masa lampau
Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal oleh manusia dan jauh sejarah, semenjak zaman-zaman lampau. Oleh karena itu beralasan sekali bila kita mengatakan  bahwa kebudayaan umat manusia dalam satu kurunnya tidak pernah sepi dari orang-orang yang berusaha membawa kebudayaan itu mempehatikan nilai manusiawi dasar, yaitu perasaan merasa tersentuh melihat penderitaan orang lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan dan kepapaan atau paling kurang meringankan nasip yang mereka derita tersebut
Namun sutuasi yang dihadapi oleh orang-orang miskin pada kenyataannya tidak memungkinkan maksud itu tercapai, dan hal itu  sudah merupakan noda hitam yang mengotori muka umat manusia, dimana masyarakat tidak tersentuh lagi oleh nasehat para budiman dan peringatan para cerdik pandai.Seorang ilmuan besar melaporkan kepada kita tentang sejarah hitam hubungan antara orang-orang miskin yang telah berlangsung semenjak kebudayaan-kebudayaan  pertama manusia. Katanya, “Pada bangsa apapun peneliti mengarahkan perhatiannya.
Ia selalu hanya akan menemukan dua golonngan manusia yang tidak ada ketiganya, yaitu golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Dibalik itu selalu selalu didapatkan suatu keadaan yang sangat menarik. Yaitu golongan yang berkecukupan selalu selalu semakin makmur tampa batas, sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kurus sehingga hampir-hampir bercampak diatas tanah, terhempas tak berdaya. Sedangkan orang yang hidup mewah-mewah itu sudah tidak sadar mulai dari mana atap di atasnya runtuh. 
 Perhatian Agama-agama terhadap orang-orang miskin
Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang Tidak mengenal hubungan dengan Kitab suci yang berasal dari langit (Samawi), tidak kutrang perhatiannya pada segi sosialyang tampa segi ini persaudaraan dan kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujut.Demikianlah dilembah Eufrat-Tigris 4000 s.m. kita menemukan Hummurabi, seseorang yang buat pertamakalinya menyusun peraturanperaturan tertulis yang masih dapat kita baca sekarang., berkata bahwa Tuhan mengirimnya kedunia ini untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang lemah, membimbing manusia, serta menciptakan kemakmuran buat umat manusia. Dan beribu-ribu sebelum masehi orang-orang masehi Mesir kuno selalu merasa menyandang  tugas agama sehingga mengatakan, “Orang lapar kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang ditimpa hujan badai.
Perhatian Agama-agama Langit (Samawi)
Agama-aganma langitlah sesungguhnya yang lebih kuat dan lebih dalam dampak seruannya dari pada buah pikiran filsafat, agama ciptaan, dan ajaran apapun dalam melindungi orang-orang miskin dan lemah. Bila kita membuka Al-Qur’an, pegangan terbaik dari Tuhan bagi manusia yang masih tetap abadi, kita temukan Al-Qur’an berbicara tentang Ibrahim, dan Ya’kub:“Kami jadikan mereka pemuka-pemuka, yang memimpin menurut perintah kami. Kami wahyukan kepada mereka agar melakukan perbuatan baik-baik, dan mendirikan shalat, membayar zakat, dan menyembah kepada kami.Kemudian apabila kita memeriksa Taurat dan Injil (perjanjian Lama dan perjanjian baru) yang ada sekarang, kita akan bertemu dengan banyak pesan dan nasehat khusus tentang cinta kasih dan perhatian pada fakir miskin, janda-janda yatim, dan orang-orang lemah. Dalam taurat surat Amsal, pasal 21, kita temukan, “Barangsiapa menyumbat telinganya akan tangis orang miskin, maka ia pun kelak akan berteriak, tetapi tiada yang mendengar akan suaranya. Dengan persembahan yang sembunyi orang akan memadamkan murka.”    
PERHATIAN ISLAM PADA MASA PERIODE MAKKAH
Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problema kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa islam semenjak fajarnya baru menyingsing di kota makkah- saat umat islam masih bebera[pa orang dalam hidup tertekan, dikejar-kejar, belum mempunyai pemerintah dan organisasi politik sudah mempunyai kitab suci Al-Quran yang memberikan perhatian penuh dan kontinyu pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut. Al-Qur’an adakalanya merumuskan dengan kata-kata “memberikan makan dan mengajak memberi makan orang-orangmiskin,” dan adakalanya dengan rumusan “memberikan rizki yang diberikan Allah,” “memberikan hak orang-orang yang meminta-minta, miskin, dan terlantar dalam perjalanan”,  “membayar zakat,” dan rumusan-rumusan lainnya.   
Memberi Makan orang miskin adalah Realisasi Iman
Dalam surat al-Muddaststir, yaitu salah satu surat yang turun pertama, Al-Quran memperlihatkan kepada kita suatu peristiwa di akhrat, yaitu peristiwa “orang-orang kana” Muslimin di dalam surga bertanya-tanya mengapa orang-orang kafir dan pembohong-pembohong itu  di ceblos ke dalam neraka. Mereka lalu bertanya, yang memperoleh jawaban bahwa mereka di coblos kedalam neraka oleh karena tidak memperhatikan dan membiarkan orang-orang miskin menjadi mangsa kelaparan.
Hak Tanaman Waktu Dipetik
 Dalam al-Quran surah al-An’am. Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang berkisi-kisi dan tidak berkisi-kisi, pohon kurma, biji-bijian yang beraneka ragam bentuknya, zaitun, dan buah delima yang serupa dan tidak serupa. Makanlah buahnya bila berbuah, dan keluarkanlah haknya pada hari memetik hasilnya, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tiada menyukai orang-orang yang berlebi-lebihan.Allah memperingatkan kepada manusia bahwa dalam biji-bijian dan buah-buahan terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan pada waktu memetiknya. Said bin Jubair berkata, “Hal itu sebelum perintah zakat turun, yaitu bahwa orang itu harus menyedekahkan sebagian hasil tanamannya, memberi makan ternak, memberi anak yatim dan orang miskin, serta juga rumput-rumputan.”  
Bentuk Zakat di Makkah
Demikianlah sejumlah cara yang dipakai al-Qur’an makiah dalam mendorong manusia agar memperhatiakan dan memberikan hak-hak fakir miskin supaya mereka itu tidak terlunta-lunta.Cara-cara yang dipakai itu dimahkotai dengan satu cara lain yaitu “dipujinya orang yang berzakat dan dicercanya orang yang tidak membayarnya” sebagaimana jelas terlihat dalam surat-surat Makiah tersebut.  Dalam al-Qur’an surah ar-Rum, Allah s.w.t memerintahkan agar hak kerabat, orang miskin, dan orang yang terlantar di perjalanan diberikan, dan kemudian memperbandingkan antara riba, yang pada lahirnya tampak seakan-akan menambah kekayaan tetapi pada dasarnya menguranginya, dengan zakat, yang pada lahirnya tampak mengurangi kekayaan tetapi pada dasarnya mengembangkan kekayaan itu.
Allah berfirman: “Berikanlah hak karabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan. Yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah allah dan merekalah yang akan berjaya. Dan uang yang kalian berikan untuk diperbungakan sehingga mendapat tambahan dari harta orang lain, tidaklah mendapat bunga dari Allah. Tetapi yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari wajah Allah, itulah yang mendapat bunga. Mereka yang berbuat demikinlah yang beroleh pahala yang berlipat ganda.”
Hal yang perlu dicatat dari pernyataan-pernyataan tentang zakat dalam surat-surat yang turun di Makkah itu adalah bahwa pernyataan-pernyataan tersebut tidak dalam bentuk amr ‘Perintah’ yang dengan tegas mengandung arti wajib dilaksanakan, tetap berbentuk kalimat-kalimat berita biasa. Hal itu karena zakatdi pandang sebagai ciri utama orang-orang yang beriman, bertakwa, dan berbuat kebajikan:2 Yaitu orang yang membayar zakat dan mereka yang melaksanakan zakat, atau orang-orang tertentu yang ditegaskan oleh Allah hidup sukses: Mereka itulah orang-orang yang sukses, atau sebaliknya dinilai sebagai orang-orang musyrik bila tidak melaksanakan kewaiban tersebut: yaitu mereka yang tidak membayar zakat.
Zakat pada periode Madinah
 Kaum muslimin di makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalagi menjalankan agama mereka, tetapi di madinah mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena beban tanggungjawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut. Yaitu bentuk delimitasi bukan generalisasi, bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran.
Zakat setelah Puasa
Berdasarkan sejumlah hadis dan laporan para sahabat dan setelah kita membaca sejarah penetapan rukun-rukun Islam yang ada sekarang, kita mengetahui bahwa shalat lima waktu adalah rukun pertama yag wajib dijalankan oeleh kaum muslimin, yaitu di makkah pada malam peristiwa Isra’ sesuai dengan fakta. Kemudian baru puasa yang diwajibkan di madinah pada tahun 2 H bersamaan dengan zakat fitrah yang merupakan sarana penyucian Dosa, dan perbuatan tidak baik bagi yang berpuasa, dan sarana pemberian bantuan kepada orang-orang miskin pada saat lebaran. Setelah itu barulah diwajibkan zakat kekayaan, yaitu zakat yang sudah tertentu nisab dan besarnya.
Zakat adalah Rukun Islam Ketiga
 Nabi s.a.w. telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta telah menjelaskan kedudukannya dalam islam. Yaitu bahwa zakat adalah salah satu rukun islam, dipujinya orang yang melaksanakan dan diancamnya orang yang tidak melaksanakannya dengan berbagai upaya dan cara. Dapatlah anda baca misalnya peristiwa Jibril mengajarkan agama kepada kaum muslimin dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik kepada rasulullah, “Apakah itu Islam?” Nabi menjawab: “Islam Adalah mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Adalah rasulNya, mendirikan Shalat, Membayar Zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan Naik Haji bagi yang mampu melaksanakan .” (hadis Muttafaq ‘alaih).
Dalam Hadis lain Rasulullah mengatakan bahwa rukun Islam itu lima,  yang dimulai denga shahadat, kedua shalat, dan ketiga zakat. Dengan demikian zakat di dalam sunnah dan begitu juga dalam Al-Qur’an adalah dasar Islam yang ketiga, yang tanpa dasar ketiga itu bengunan Islam banngunan islam Tanpa berdiri dengan Baik.Perbedaan-perbedaan mendasar antara zakat dalam islam dengn zakat dalam Agama-agama lain.Setelah jelas bagi kita zakat itu wajib dan bagaimana kedudukannya dalam islam berdasarkan apa yang diyang katakan oleh Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, maka kita dapat memberikan catatan penting penting dan ringkas tentang zakat tersebut, yang jelas berbeda sekali dari kebajikan dan perbuatan baik, kepada orang-orang miskin dan lemah yang diserukan oleh agama-agama lain.
1.      Zakat dalam islam bukanlah hanya sekedar suatu kebajikan dan perbuatan baik, tetapi adalah salah satu fondamen (rukun) Islam yang utama. Ia adalah juga salah satu kemegahan islam yang paling semarak dan salah satu dari empat ibadat dalam islam. Orang yang tidak mau membayar zakat itu di nilai fasik dan orang yang mengingkari bahwa ia wajib di pandang kafir. Zakat itu bukan pula kebajikan secara ikhlas atau sedekah tak mengikat, tetapi adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama sangat mutlak dilaksanakan.
2.      Zakat menurut pandangan islam adalah hak fakir miskin dalam orang-orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan itu yang sebenarnya, yaitu Allah s.w.t. ia mewajibkannya kepada hamba-hambanya kepada hambanya yang diberinya kepercayaanNya yang dan dipercayakanNya itu. Oleh karena itu tidak satu bentuk kebajikan atau balas kasihan pun dalam zkat yang dikeluarkan orang-orang kaya kepada orang miskin, karena bendahara satu pos tidak berarti berbuat kebajikan bila ia mengeluarkan sejumlah uang atas perintah pemiliknya (atasan).
3.      Zakat merupakan “Kewajiban yang sudah ditentukan”, yang oleh agama sudah ditetapkan nisap, besar, batas-batas, syarat-syarat, waktu, dan cara pembayarannya, sejelas-jelasnya.
4.      Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh pemerintah. Hal itu didistribisikannya oleh para amil. Dan zakat itu sendiri merupakan pajak yang harus dipungut, tidak diserahkan kepada kemauan baik seseorang saja. Oleh karena itulah Al-Qur’an mengungkapkannya dengan: pungutlah zakat dari kekayaan mereka dan sunnah mengungkapkannya dengan, “dipungut dari orang-orang kaya”.Berdasarkan ciri-ciri diatas, dapatlah kita melihat bahwa zakat dalam islam merupakan sistem baru tersendiri yang tidak sama dengan anjuran-anjuran dalam agama-agama lain supaya manusia suka berkorban, tidak kikir.
Di samping itu pajak berbeda dari pajak dan upeti yang dikenakan para raja, yang justru di pungut orang-orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang kaya, dan diberikan oleh orang-orang yang berkuasa untuk menyombongkan diri untuk berfoya-foya, untuk menyenangkan hati para keluarga dan bawahannya, dan untuk mejaga agar kekuasaan mereka tidak tumbang.