SELAMAT DATANG

ASLKM ,,,,

LAZ AR-RAHMAH MAKASSAR YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENGUMPULAN DAN PENDISTRIBUSIAN ZAKAT, INFAQ,DAN SEDEKAH, MENAWARKAN KEPADA BAPAK, IBU, SAUDARA, TEMAN-TEMAN UNTUK MENJADI DONATUR DI LEMBAGA KAMI..BAGI YANG BERMINAT BISA MENGHUBUNGI KAMI DI NO

.0411 514 810

(082188950648),,

(085 256 668 824)

BISA DIJEMPUT ATAU MELALUI REKENING BANK MUAMALAT (ZISWAF) : 801.13157.22 A.N PRIHASTUTI BDN LAZ AR-RAHMAH

"SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN PAHALA ATAS APA YANG ANDA BERIKAN DAN MEMBERIKAN KEBERKAHAN PADA REZEKI YANG TERSISA "( HR.NASA'I )

ALAMAT KANTOR : JL.PAJJAIYANG NO.17 B DAYA KEC.BIRINGKANAYYA MAKASSAR

Email : lazarrahmah@gmail.com

Rabu, 27 Juni 2012

Syarat Kekayaan Kena Wajib Zakat

syarat untuk suatu kekayaan yang terkena wajib zakat: 1. Milik penuh 2. Berkembang 3. Cukup senisab 4. Lebih dari kebutuhan biasa 5. Bebas dari hutang 6. Berlalu setahun Syarat Pertama : Milik Penuh Kekayaan pada dasarnya adalah milik Alloh. Yang dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan, pemakaian, dan pemberian wewenang yang diberikan Alloh kepada manusia, sehingga seseorang lebih berhak menggunakan dan mengambil manfaatnya daripada orang lain. Istilah "milik penuh" maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya. Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan, dan faedahnya dapat dinikmatinya. Konsekuensi dari syarat ini adalah tidak wajibnya zakat bagi : · Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu · Tanah waqaf dan sejenisnya · Harta haram. Karena sesungguhnya harta tersebut tidak syah menjadi milik seseorang · Harta pinjaman. Dalam hal ini wajib zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tersebut tidak diharapkan kembali). Bagi orang yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak mau atau mengundur-undurkan pembayaran dari harta tersebut, sementara dia terus mengambil manfaat dari harta tersebut. Dengan kata lain orang yang meminjam telah memperlakukan dirinya sebagai "si pemilik penuh". • Simpanan pegawai yang dipegang pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh di masa yang akan datang, sehingga baru terhitung wajib zakat pada saat itu. Syarat Kedua : Berkembang Pengertian berkembang yaitu harta tersebut senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak dll) dan tidak secara konkrit (yang berpotensi berkembang, seperti uang apabila diinvestasikan). Nabi tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi seperti rumah kediaman, perkakas kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik, dll. Karena semuanya tidak termasuk kekayaan yang berkembang atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati bahwa hasil pertanian dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun telah disimpan bertahun-tahun. Dengan syarat ini pula, maka jenis harta yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang sering diungkapkan sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis harta (unta, lembu, kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak). Semua kekayaan yang berkembang merupakan subjek zakat. Syarat Ketiga: Cukup Senisab Disyaratkannya nisab memungkinkan orang yang mengeluarkan zakat sudah terlebih dahulu berada dalam kondisi berkecukupan. Tidaklah mungkin syari’at membebani zakat pada orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia sendiri masih sangat membutuhkan harta tersebut. Dengan demikian pendapat yang mengatakan hasil pertanian tidak ada nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya nisab untuk masing-masing jenis kekayaan dijelaskan pada bab lain). Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan Biasa Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah pertumbuhan/perkembangan harta dapat terjadi. Kebutuhan harus dibedakan dengan keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan rutin, yaitu sesuatu yang betul-betul diperlukan untuk kelestarian hidup; seperti halnya belanja sehari-hari, rumah kediaman, pakaian, senjata untuk mempertahankan diri, peralatan kerja, perabotan rumah tangga, hewan tunggangan, dan buku-buku ilmu pengetahuan untuk kepentingan keluarga (karena kebodohan dapat berarti kehancuran). Kebutuhan ini berbeda-beda dengan berubahnya zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan dalam keluarga yang berbeda-beda. Persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan yang berwenang. Zakat dikenakan bila harta telah lebih dari kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat 2:219 ("sesuatu yang lebih dari kebutuhan...") dan juga hadits "zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya", dan hadits-hadits lainnya. Syarat Kelima: Bebas dari Hutang Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup pula senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila jumlah hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka zakat tidaklah wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat. Namun apabila hutang itu ditangguhkan pembayarannya (tidak harus sekarang juga dibayarkan), maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti halnya hutang karena meng-kredit sesuatu). Syarat Keenam: Berlalu Setahun Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy, persyaratan setahun ini hanyalah buat barang yang dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat modal" seperti: ternak, uang, harta benda dagang, dll. Adapun hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia (barang tambang), harta karun, dll yang sejenis, semuanya termasuk ke dalam istilah "zakat pendapatan" dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus dikeluarkan ketika diperoleh). Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para shahabat dan tabi'in mengenai persyaratan "berlalu setahun" baik karena sendiri maupun karena tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu tahun. (Pembahasan lebih jauh mengenai hal ini Insya Alloh akan kita jumpai pada pembahasan zakat profesi/pendapatan). Namun demikian sesuatu yang tidak diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk zakat modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun.

KHOTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN

"Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkatan. Allah telah mewajibkan kepadamu puasa-Nya. Didalam bulan Ramadhan dibuka segala pintu syurga dan dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu seluruh syaithan. Padanya ada suatu malam yang terlebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam itu, maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan." "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan penghulu segala bulan, maka "Selamat datanglah" kepadanya." Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkatan, bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan qiam dimalam harinya suatu tatawwu'. Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan didalamnya samalah dia dengan orang yang menunaikan sesuatu fardhu didalam bulan yang lainnya. Barangsiapa menunaikan sesuatu fardhu dalam bulan Ramadhan samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu dibulan lainnya. Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga. Ramadhan itu adalah bulan memberikan pertulungan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada mukmin didalamnya. Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, yang demikian itu adalah pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa. Allah memberikan pahala itu kepada orang yang memberikan walaupun sebutir korma, atau seteguk air, atau sehirup susu. Dialah bulan yang permulaannya Rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kemerdekaan dari neraka. Barangsiapa yang meringankan beban seseorang (yang membantunya) niscaya Allah mengampuni dosanya. Oleh itu banyakkanlah yang empat perkara dibulan Ramadhan. Dua perkara untuk mendatangkan keredhaan Tuhanmu dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya tiada tuhan melainkan Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolamku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk kedalam surga."

Sepuluh Langkah menyambut Ramadhan

1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani) Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadan; dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai. 2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur. 3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad). Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat. 4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. 5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21] 6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7. 7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31] 8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan. 9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan: · buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur. · membagikan buku saku atau selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa. 10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Manfaat Zakat

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin, pengurus (amil) zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (usaha) di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (At-Taubah: 60) Ayat di atas yang berbicara tentang kelompok yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang berhak mendapat dana zakat (mustahiq), demikian juga surat At-Taubah: 103 yang berbicara tentang kewajiban zakat yang dikaitkan dengan hikmah dan manfaat zakat bagi muzakki keduanya menggunakan terminologi 'shadaqah' yang berasal dari akar kata 'shadaqa' yang berarti benar dan jujur. Hal ini menunjukkan bahwa indikator ketulusan, kebenaran dan kejujuran keimanan seseorang terletak pada kesiapannya menunaikan kewajiban zakat. Zakat berdasarkan ayat diatas dapat dikatakan sebagai ‘jaminan sosial' bagi kelompok yang sangat membutuhkan huluran bantuan materi. Maknanya, zakat merupakan ibadah yang mempunyai peran strategis dalam konteks ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang banyak. Menurut Asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir', ayat di atas telah merinci pihak yang harus mendapat bantuan keuangan yang berasal dari zakat berdasarkan skala prioritas dari kelompok yang sangat membutuhkan yaitu faqir dan seterusnya kelompok yang dikategorikan miskin dalam memenuhi kebutuhan asasi mereka. Apabila kebutuhan primer mereka telah terpenuhi, maka untuk selanjutnya zakat berperan untuk mengangkat dan meningkatkan taraf hidup mereka pada standar kehidupan yang layak seperti yang dialami oleh kelompok muzakki. Tentu mustahiq tidak harus berpuas hati menjadi ‘tangan yang dibawah' terus menerus sehingga termotivasi untuk menjadi kelompok muzakki di masa mendatang. Disinilah peran zakat dalam konteks memberdayakan kelompok mustahiq agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Berdasarkan pembacaan Fairuz Abadi terhadap seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, terdapat 35 ayat yang berbicara tentang zakat. Tiga puluh diantaranya menggunakan bentuk ma'rifat, serta 27 ayat diantaranya disandingkan dengan perintah shalat seperti firmanNya: "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat serta ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'". (Al-Baqarah: 43). Pembicaraan tentang zakat juga tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Madaniyah, tetapi juga pada ayat-ayat Makkiyyah yang notabene terfokus pada pembentukan keimanan dan keyakinan. Ini menunjukkan bahwa zakat merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan keimanan. Bahkan dalam surat Ar-Rum : 39 Allah mengkaitkan zakat dengan sistim Ekonomi Ribawi yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat; umat). Allah swt berfirman: "Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)". Pembicaraan tentang zakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang konsep harta menurut Al-Qur'an, terutama tentang konsep kepemilikan yang akan meringankan si pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan pemilik hakiki yaitu Allah swt. Dalam banyak ayat Al-Qur'an ditegaskan bahwa kepemilikian harta yang hakiki disandarkan kepada Allah swt, "Dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang dikarunikan kepadamu..." (An-Nur: 33) Kemudian Allah mengizinkan manusia untuk menguasai harta tersebut dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Artinya, jika manusia mendapatkan atau menguasai harta tersebut dengan mengabaikan aturan Allah, maka ia pada hakikatnya tidak berhak untuk memilikinya. inilah konsep kepemilikan dalam Islam yang membedakan dengan konsep kepemilikan dalam aturan lain. Sehingga harus disadari betul bahwa pada harta yang dimiliki seseorang ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan hak orang lain yang keduanya bersifat melekat pada harta tersebut. Selain tentang konsep kepemilikan harta, pembicaraan tentang zakat juga harus dikaitkan dengan konsep pengembangan harta dengan cara yang baik sehingga akan menjadi keberkahan bagi pemiliknya dan orang lain. Justru persoalan keberkahan merupakan persoalan inti dan esensi bagi seorang muslim dalam mensikapi hartanya. Diantara ciri harta yang berkah itu adalah harta itu akan bertambah banyak, paling tidak dari segi dampak manfaat yang ditimbulkannya. dengan berzakat harta menjadi berkah dalam arti memberi kenyamanan dan keamanan bagi pemiliknya karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hartanya. Bahkan hartanyalah yang akan menjaga pemiliknya. Dengan menjalankan kewajiban zakat juga sang pemilik harta akan berkah karena lebih dekat dengan Allah karena selalu bersyukur atas karuniaNya. Harta yang senantiasa dikeluarkan zakatnyaakan menghindarkan pemiliknya dari sikap rakus terhadap harta, bahkan selalu berusaha untuk memberikan manfaat bagi pemilik dan orang lain. Rasulullah saw menjamin dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah bagi hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang yang berlaku tawadhu' karena Allah melainkan Dia akan meninggikannya". Ditinjau dari segi filosofi zakat berdasarkan ayat inti dalam tulisan ini, zakat tidak sekadar menunaikan kewajiban materiil semata bagi seorang muslim yang memiliki harta, tetapi bagaimana zakat dapat dijadikan sebagai sistem nilai yang seterusnya terinternalisasi dalam diri pembayar zakat untuk menjadi seseorang yang peduli kepada yang lemah dan berpihak pada kaum papa dalam seluruh perilaku dan aktifitas ekonominya. secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur dan zakat yang ditangai dengan baik. hingga kala itu negara yangn cukup luas hampir sepertiga dunia tidak ada yang berhak menerima zakat karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki. itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain karena tidak ada lagi yang patut disantuni. zakat dapat menumbuhkan etos kerja. dengan membayar zxakat seseorang akan bekerja dengan baik. dengan demikian gerakan sadar zakat pada dasanya adalah gerakan menciptakan etos kerja yang baik yang memberi kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi semua. Jelas bahwa keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materiil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraaan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro. Disinilah zakat berperan sebagai Ibadah Maaliyah Ijtima'iyyah (ibadah harta yang berdimensi sosial) yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam maupun dari sisi pembanguna kesejahteraan umat. Kesediaan seseorang untuk berzakat merupakan indikator utama ketundukannya terhadap Allah dan ciri utama seorang mukmin yang akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah. kesediaan berzakat pula dipandang sebagai ciri orang yang selalu berkeinginan mennyucikan dan mmembersihkan serta mengembangkan harta yang dimilikinya, Sebaliknya keengganan dan ketidak pedulian seseroang terhadap zakat mendapatkan peringatan dan ancaman yang berat dari Al-Qiur'an di akhirat kelak. Harta benda yang disimpan dan tidak dibelanjakan sesuai dengan dengan ketentuan Allah akan berubah menjadi alat untuk mengazabnya. Dalam beberapa hadits, Rasulullah mengancam orang yang enggan membayar zakat hartanya akan hancur, dan jika keengganan ini demikian bersifat massal, maka Allah akan menurunkan azab berupa dihambatnya hujan yang menurunkan keberkahan seperti tersebut dalam hadits Thobroni dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah juga pernah menghukum Tsa'labah atas keengganannya berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan, tidak ada seorang sahabatpun yang berhubungan dengannya meskipun hanya bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar bahkan mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya shalat namun tidak mau berzakat sepeninggal kewafatan Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas'ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya. Dalam konteks kemakmuran rakyat (umat), peran zakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini: pertama, zakat akan menumbuhkan akhlak yang mulia berupa kepeduliaan terhadap nasib kehidupan orang lain, menghilangkan rasa kikir dan egoisme (An-Nisa': 37). Kedua, Zakat berfungsi secara sosial untuk mensejahterakan kelompok mustahiq, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, dapat menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. Ketiga, zakat akan mendorong umat untk menjadi menjadi muzakki sehingga akan meningkatkan etos kerja dan etika bisnis yang benar. Keempat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan terciptanya pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Maka zakatlah ibadah satu-satunya yang secara eksplisit disebutkan adanya pengelola resmi yang dikenal dengan istilah Amil seperti yang diisyaratkan dalam surat At-Taubah: 103 yang bermaksud: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Terkait dengan ini, Monzer Kahl dalam bukunya ‘Ekonomi Islam; telaah analitik terhadap fungsi sistim Ekonomi Islam' menyatakan bahwa zakat dan sistim pewarisan dalam Islam cenderung berperan sebagai sistem distribusi harta yang egaliter sehingga harta akan selalu berputar dan beredar kepada seluruh lapisan rakyat, karena memang akumulasi harta di tangan seseorang atau suatu kelompok saja sangat ditentang oleh Al-Qur'an. Allah menegaskan dalam firmanNya: "....Agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja diantara kamu..". (Al-Hasyr: 7) Demikian, zakat yang secara bahasa berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah merupakan ibadah yang berdimensi vertikal dan horizontal secara bersamaan. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak dan akan memberikan kemakmuran kepada seluruh umat. Semoga kita termasuk diantara hambaNya yang senantiasa dido'akan oleh MalaikatNya pada setiap pagi dan petang: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya", bukan termasuk hambaNya yang didoakan kehancuran: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran". (H.R. Bukhari dan Muslim)

Selasa, 19 Juni 2012

Motivasi Untuk Berzakat

Rasulullah SAW bersabda: (( ثَلَاثٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ... مَا نَقَّصَ مَالَ عَبْدٍ صَدَقَةٌ وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ بِمَظْلَمَةٍ فَيَصْبِرُ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا عِزًّا وَلَا يَفْتَحُ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ لَهُ بَابَ فَقْرٍ )) “Ada tiga hal yang aku berani bersumpah karenanya, yaitu bahwasanya tidak akan berkurang harta seorang hamba karena dishadaqahkan, tidaklah seorang hamba dizhalimi kemudian dia bersabar melainkan pasti Allah tambahkan kepadanya kemuliaan dan tidaklah seorang hamba yang membuat-buat suatu masalah kecuali akan Allah bukakan kemiskinan kepadanya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi dengan sanad shahih) Dari Abu Ayyub Ra, diceritakan bahwa ada seseorang berkata kepada Nab SAW: “Beritahukan kepadaku tentang amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga?, maka beliau bersabda: (( تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ )) “Yaitu engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menyambungkan hubungan kekeluargaan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah SAW bersabda: ثلاث من فعلهن فقد طعم طعم الإيمان من عبد الله وحده و أنه لا إله إلا الله و أعطى زكاة ماله طيبة بها نفسه “Ada tiga hal yang apabila dikerjakan oleh seseorang, niscaya dia akan dapat merasakan lezatnya iman, yaitu dia hanya beribadah kepada Allah semata, dan (bersyahadat) la ilaha illallah dan menunaikan zakat untuk menyucikan jiwanya.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad shahih) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat.... Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mukminuun [23]: 11) Dengan Berzakat, Hati dan Pikiran Merasa Tenang dan Nyaman Zakat, infak dan sedekah merupakan satu ajaran luar biasa dalam Islam yang tidak akan membuat pelakunya akan jatuh miskin. Manfaatnya tak sekadar dinikmati penerimanya (dhuafa) tetapi juga akan diterima oleh pemberinya (aghniya) dengan manfaat berlipat-lipat. Seharusnya zakat, infak, dan sedekah juga dijadikan prioritas pertama dalam pemenuhan kebutuhan keluarga berupa manajemen keuangan, lalu disusul dengan tabungan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dengan berzakat, infak, dan sedekah, harta yang dikeluarkan akan mengembangkan harta yang dimiliki pemberi. Dengan mengeluarkan zakat, infak dan sedekah akan menyebabkan kita kaya secara batin. Oleh karena itu, berzakat perlu dijadikan sebagai life style, bahkan menjadi budaya hidup. Tentunya dengan berzakat, infak, dan sedekah, hati dan pikiran akan merasa nyaman, tenang dan tidak bingung. Dan selanjutnya akan berimbas pada ketajaman pikiran dan hati, yang akan berbuah empati dan simpati kepada orang lain. Perlu diketahui, potensi zakat di negeri mayoritas berpenduduk muslim ini mencapai Rp 100 triliun, namun yang dapat teraktualisasikan baru sekitar Rp 1,2 triliun. Jika kita bandingkan dengan Negara lain yang telah berhasil memaksimalkan potensi zakatnya. Sebut saja Malaysia, yang umat Islamnya hanya 52% dari total jumlah penduduk atau sekitar 11 juta jiwa, zakat yang teraktualisasikannya sekitar Rp 37 triliun. Negeri kaya minyak Kuwait mencapai Rp 380 triliun. Sedangkan di Arab Saudi lebih banyak lagi karena perusahaan sudah diwajibkan zakatnya, yaitu sekitar Rp 1.000 triliun. Jika umat Islam Indonesia berzakat dengan baik dan dikelola dengan manajemen yang baik pula, maka persoalan kemiskinan yang telah membelit bangsa ini bisa diatasi. Karena, dengan dana besar tersebut, berbagai proyek pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kemandirian dapat berjalan lancar. Dan hal ini merupakan sebuah potensi kekuatan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa orang yang suka memberi akan dekat dengan Allah dan manusia, jika ia meninggal dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Sebaliknya, orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka.

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah dan penjelasannya Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah. Dasar wajib zakat fitrah : عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كلّ حرّ أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين ( رواه مسلم ) “Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan“ Zakat fitrah wajib bagi setiap orang islam yang mampu dan hidup di sebagian bulan Ramadhan serta sebagian bulan Syawwal. Artinya, orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya). Begitu juga bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal. Tapi sebaliknya, orang yang meninggal sebelum terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan atau bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari di malam 1 Syawwal tidak diwajibkan baginya zakat fitrah . Yang dimaksud mampu yaitu, memiliki harta lebih dari 1. Kebutuhan makan dan pakaian untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahi pada siang hari raya beserta malam 2. harinya (1 Syawwal dan malam 2 Syawwal) . 3. Hutang, meskipun belum jatuh tempo (saat membayar). 4. Rumah yang layak baginya dan orang yang wajib dinafkahi. 5. Biaya pembantu untuk istri jika dibutuhkan. Orang yang wajib dinafkahi yaitu: 1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta. 2. Anak yang sudah baligh namun secara fisik tidak mampu bekerja seperti lumpuh, idiot, dan sebagainya serta tidak memiliki harta. 3. Orang tua yang tidak mampu (mu’sir). 4. Istri yang sah. 5. Istri yang sudah ditalak roj’i (istri yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua) dalam masa iddah. 6. Istri yang ditalak ba’in (talak 3) apabila dalam keadaan hamil. Zakat fitrah berupa makanan pokok mayoritas penduduk daerah setempat. Ukuran zakat fitrah 1 sho’ beras = 2,75 – 3 kg. Urutan dalam mengeluarkan zakat fitrah ketika harta terbatas. Orang yang memiliki kelebihan harta seperti di atas tetapi tidak mencukupi untuk fitrah seluruh keluarganya, maka dikeluarkan sesuai urutan berikut : 1. Dirinya sendiri. 2. Istri. 3. Pembantu istri sukarela (tanpa bayaran). 4. Anak yang belum baligh. 5. Ayah yang tidak mampu. 6. Ibu yang tidak mampu. 7. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara fisik dan materi). Jika kelebihan harta tersebut kurang dari 1 sho’ maka tetap wajib dikeluarkan. Waktu mengeluarkan zakat fitrah: 1. Waktu wajib, yaitu ketika mendapati sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal. 2. Waktu jawaz (boleh), yaitu mulai awal Ramadhan. Dengan catatan orang yang telah menerima fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim saat waktu wajib. Jika saat wajib orang yang menerima fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali. 3. Waktu fadhilah (utama), yaitu setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied. 4. Waktu makruh, yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak menerimanya. 5. Waktu haram, yaitu mengakhirkan hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal kecuali karena udzur seperti tidak didapatkan orang yang berhak didaerah itu. Namun wajib menggodho’i. Syarat sah zakat fitrah: I. Niat. Niat wajib dalam hati. Sunnah melafadzkannya dalam madzhab syafi’i. Niat untuk fitrah diri sendiri: نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ (Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah Ta’ala) Niat untuk zakat fitrah orang lain: نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ تَعَالىَ (saya niat mengeluarkan zakat fitrah fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala) CATATAN : Anak yang sudah baligh, mampu secara fisik, tidak wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrahnya. Oleh karena itu apabila orang tua hendak mengeluarkan zakat fitrah anak tersebut, maka caranya : 1. Men-tamlik makanan pokok kepadanya (memberikan makanan pokok untuk fitrahnya agar diniati anak tersebut). 2. Atau mengeluarkannya dengan seizin anak. Cara niat zakat fitrah a. Jika dikeluarkan sendiri, maka diniatkan ketika menyerahkannya kepada yang berhak atau setelah memisahkan beras sebagai fitrahnya. Apabila sudah diniatkan ketika dipisah maka tidak perlu diniatkan kembali ketika diserahkan kepada yang berhak. b. Jika diwakilkan, diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil atau memasrahkan niat kepada wakil. Apabila sudah diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil maka tidak wajib bagi wakil untuk niat kembali ketika memberikan kepada yang berhak, namun lebih afdhol tetap meniatkan kembali, tetapi jika memasrahkan niat kepada wakil maka wajib bagi wakil meniatkannya. II. Menyerahkan kepada orang yang berhak menerima zakat, yaitu ada 8 golongan yang sudah maklum Mustahik Zakat Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT : إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60) Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah : 1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. . Hal–hal yang perlu diperhatikan: 1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid. 2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah. 3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek. 4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah. 5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas. 6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh. 7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya. 8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain. 9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu. 10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq. 11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas. 12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas. 13. Fitrah dengan uang tidak sah menurut madzhab Syafi’i

BROSUR

Perubahan adalah suatu keharusan, Hingga hari ini, masalah kemiskinan masih menjadi beban yang belum mampu diselesaikan. Kemiskinan menjadi sekat nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa biaya yang menjadi kunci utama atas akses terhadap berbagai fasilitas selalu menjadi momok bagi kaum miskin. Seakan miskin dan kaya menjadi dasar atas ketegorisasi strata sosial yang memberikan kedua pihak ini jarak yang cukup terentang yang biasa kita sebut dengan kesenjangan sosial. Keterbatasan akses ini selanjutnya memperlebar jarak kesenjangan sosial yang memberikan dampak bukan sekedar pada strata sosial, namun juga pada tingkat pendidikan, kesehatan, ruang aktualisasi, dan sebagainya. Miskin menjadi identik dengan lemah, bodoh, sakit-sakitan dan tidak punya cukup ruang aktualisasi.karena itu agama hadir sebagai solusi untuk kesenjangan tersebut. Dalam agama islam tepatnya pada rukun yang ke-tiga yaitu kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi yang memenuhi syarat. Zakat adalah salah satu rukun yang bercorak social-ekonomi dari lima rukun islam. Dalam Al-Quran, Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah dijalan Allah sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi maha terpuji” (Al-Baqarah (2):267) Kabar Gembira !!! Bagi mereka yang berzakat, berinfaq, bersedekah Allah akan menggantinya melebihi dari apa yang telah dikeluarkannya. Bukankah Allah sendiri telah berjanji akan melipat gandakan sedekah yang dikeluarkan hambaNya “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah (Sedekah)adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, ada tiap-tiap tangkai itu berisi seratus biji. Dan Allah melipatgandakan (Balasan)bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (Qs.2:261) Oleh karena janji Allah itulah Rasulullah Muhammad SAW sangat menganjurkan kepada umatnya agar gemar bersedekah. Bukti Bukan Janji … Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Azis adalah khalifah yang sangat piawai dalam hal kepemimpinan. Wilayah khilafah islam yang dipimpinnya ketika itu terentang dari Yaman-Maroko. Dalam rentang waktu kepemimpinannya yang kurang dari 3 tahun (99H-101H), umat Islam yang dipimpinnya mengalami kondisi yang sejahtera. Dikisahkan bahwa suatu hari Menteri Urusan Zakat menghadap kepada Umar dan menyatakan bahwa dia kesulitan untuk mencari orang yang membutuh-kan untuk diberikan zakat (karena rakyat saat itu rata2 telah cukup sejahtera karena mekanisme pembayar-an zakat oleh muzakki dan pemberian zakat yang terkumpul - kepada mustahik sudah berjalan dengan baik). Umar pun lalu membuat keputusan agar zakat tersebut disalurkan untuk membangun rumah bagi rakyatnya yang belum memiliki rumah sendiri. Akhirnya didata-lah orang2 yang belum memiliki rumah dan masing2 dibangunkah rumah yang bagus melalui dana zakat tsb. SubhanaLLAH!!Beberapa bulan kemudian Sang Menteri kembali menemui Umar dan melaporkan hal serupa bahwa zakat dari para muzakki telah terkumpul kembali dan dia kesulitan untuk menyalurkannya mengingat semua orang di wilayah khilafah islam telah dibangukan rumah. Lalu Umar membuat keputusan agar zakat itu disalurkan guna membelikan kendaraan bagi rakyatnya yang belum memiliki kendaraan (waktu itu kendaraan berupa kuda dan unta). Akhirnya didatalah orang2 yang belum memiliki kendaraan lalu dibelikan kendaraan dengan dana zakat tersebut. Beberapa bulan kemudian Sang Menteri kembali menemui Umar dan melaporkan hal serupa bahwa zakat dari para muzakki telah terkumpul kembali dan dia kesulitan untuk menyalurkannya mengingat semua orang di wilayah khilafah islam telah dibelikan kendaraan. Kali ini Umar membuat keputusan agar dana zakat yang ada digunakan untuk membiayai nikah bagi bujangan yang belum menikah, bahkan bagi yang hendak menikah di usia yang muda diberikan jatah zakat yang lebih besar. Sang Menteri pun mendata objek sasaran sesuai perintah khalifah Umar. Dan dinikahkanlah bujangan2 yang belum menikah dengan dana zakat tersebut. Dan demikian seterusnya hingga akhir kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Yang perlu dicatat adalah bahwa semakin tinggi kesadaran para muzakki untuk mengeluarkan zakat, maka akan semakin sejahtera suatu wilayah Tahukah Anda !!! Zakat, Infaq, sedekah yang kita keluarkan ternyata mempunya fungsi ganda selain membantu orang yang membutuhkan, juga manfaat bagi yang bersedekah jauh lebih besar yaitu : • Menyembuhkan berbagai penyakit • Menjauhkan dari segala macam kesulitan dan masalah • Diselamatkan dari segala keburukan • Menenangkan hati dan jiwa Mari Berzakat untuk Masa Depan Indonesia yang lebih Baik !!! Pepatah Bijak mengatakan,” Lebih Baik Satu Kali melakukan daripada seribu kali berfikir”. Tunggu Apa Lagi!!! Zakat kita adalah merupakan bukti keimanan dan kepedulian kita terhadap sesama… LAZ AR-RAHMAH Insyaallah siap melayani anda untuk membantu menghitung besar zakat anda dan menyalurkannya kepada yang berhak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Ar_Rahmah Sulawesi Selatan Jl.Pajjaiyang No.17B Daya Kec. Biringkanaya Makassar (90242) Tlp. ) 0411-514810 (082188950648) Email: laz arrahmah@yahoo.com lazarrahmah@gmail.com No.Rek. Bank Muamalat : 801.13157.22 a.n Prihastuti

Rabu, 13 Juni 2012

Pengelolaan Zakat sebagai Fenomena Kebangkitan Umat

Sesuatu yang absurd saat ini kalau orang membicarakan solusi persoalan sosial, ekonomi dan kemiskinan, tanpa mengaitkannya dengan kontribusi zakat. Zakat adalah pranata pertama dalam sejarah peradaban manusia yang bertujuan antara lain untuk menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial. Zakat memproteksi kehidupan masyarakat, terutama orang-orang yang lemah (mustad’afin), tidak memiliki penghasilan dan tak punya kehidupan yang teratur. Para cendekiawan Muslim menyimpulkan zakat adalah fondasi pertama dalam membangun jaminan sosial dan takaful al-ijtimaiyah dalam masyarakat Islam. Kemiskinan di tanah air bukanlah karena sumber kesejahteraan yang kurang. Indonesia negara besar di khatulistiwa dengan wilayah yang subur dan kaya sebagai karunia Allah. Angka kemiskinan yang tinggi merupakan dampak sistemik dari kebijakan yang kurang memihak, merajalelanya korupsi kekayaan negara, persoalan pendidikan dan lapangan kerja, hingga kesenjangan pendapatan yang tajam antara golongan kaya dan miskin. Pengelolaan zakat sebagai fenomena kebangkitan umat adalah sebuah perkembangan yang perlu kita syukuri di tanah air. Pengelolaan zakat yang dilakukan secara benar sesuai ketentuan syariah dan pentasyarufannya tepat sasaran, akan mendorong pemerataan kesejahteraan dan mobilitas vertikal ke arah terciptanya keadilan sosial. Pemerintah kini menyadari peran zakat yang tidak bisa diabaikan dalam pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu setidaknya ditandai dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 dan UU No 23 Tahun 1999). Peningkatan Pengelolaan Zakat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. Abdul Djamil, MA mengatakan; dalam kurun waktu 11 tahun ini telah terjadi perubahan signifikan mengenai trend tata kelola zakat di tanah air kita. Jika dulu zakat pada umumnya dikelola secara konvensional-tradisional, sekarang dikelola dengan profesional dan punya tatanan yang jelas. Tata kelola zakat semakin jelas dengan lahirnya undang-undang pengelolaan zakat yang baru. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dinyatakan pengelolaan zakat dilakukan secara terintegrasi melalui peran koordinasi yang dilakukan oleh BAZNAS di tingkat pusat. Untuk itu peran BAZNAS harus diperkuat sebagai lembaga pemerintah non-struktural yang memiliki kapasitas menggerakkan perzakatan di tanah air. Hasil penelitian potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 Triliun per tahun. Sementara yang bisa terkumpul sampai saat ini adalah Rp 1,8 Triliun. Selisih angka Rp 215 Triliun lebih, itu menjadi sebuah pertanyaan besar (big question); apakah tidak tercatat?, banyak orang yang sudah wajib berzakat tapi tidak dikeluarkan? Kalau begitu, apa alasannya. Apakah karena tidak percaya kepada amil? Alasan lainnya, atau seharusnya mereka perlu didatangi?, tandas Abdul Djamil. Dalam kaitan di atas, lembaga pengelola zakat memiliki peran yang strategis untuk menjalankan ketentuan syariah yang terkait dengan kewajiban menunaikan zakat dan menyalurkan zakat kepada yang berhak menerimanya. Zakat, infaq dan shadaqah yang dihimpun dari umat Islam di seluruh Indonesia melalui organisasi pengelola zakat sesuai wilayah kerjanya masing-masing, seharusnya dapat mengurangi jumlah fakir miskin, atau minimal bisa memproteksi masyarakat Indonesia dari kemiskinan yang terjadi karena berbagai faktor penyebab. Membangun Kesadaran Berzakat Penulis mencermati bahwa membangun kesadaran umat untuk berzakat melalui amil masih perlu ditingkatkan, sehingga pada saatnya diharapkan antara potensi zakat dengan realisasi pengumpulannya tidak lagi menunjukkan disparitas yang besar. Dalam kaitan ini sinergi dan kerjasama organisasi pengelola zakat berbagai lembaga, seperti MUI, ormas-ormas Islam, lembaga pendidikan dan elemen masyarakat lainnya, perlu diperkuat dalam tataran yang lebih substantif. Menurut hemat penulis, satu hal yang perlu dilakukan oleh semua organisasi pengelola zakat adalah mengutamakan model-model program pendayagunaan zakat yang rendah biaya operasionalnya. Hal itu penting dilakukan agar dana zakat, infaq dan shadaqah yang diterima manfaatnya secara langsung oleh fakir miskin akan lebih besar. Sisi lain dari pengelolaan zakat, ialah peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada umat melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah, pengajian, majelis taklim, hingga publikasi media massa yang dibiayai dari dana operasional lembaga zakat. Di samping itu, kerjasama dan sinergi lembaga zakat dengan lembaga pendidikan perlu dibangun dalam rangka penyiapan SDM zakat yang handal. Lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, dapat berperan aktif dalam penelitian sosial untuk menunjang pengelolaan zakat. Peran regulasi sangat penting dalam pengelolaan zakat karena Indonesia adalah negara hukum. Lagi pula dalam ajaran dan sejarah Islam tidak setiap orang atau sekumpulan orang bisa menjalankan tugas sebagai amil zakat tanpa mandat dan legalitas yang jelas. Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa zakat bukanlah voluntary system, melainkan obligatory system dan mandatory system. Oleh karena itu pentasharufan zakat memiliki keterkaitan erat dengan upaya merealisasikan fungsi zakat sebagai jaminan sosial kepada yang berhak memperolehnya. Sebagaimana kita tahu, mengemis dan meminta-minta adalah hal yang dilarang dalam Islam, maka dari itu amil zakat dituntut agar aktif mencari mustahiq yang perlu dibantu. Program-program pendayagunaan zakat yang mampu mengangkat nama dan citra lembaga tidak selalu menjadi hal yang utama di saat persoalan fakir miskin di dalam masyarakat tidak terselesaikan. Fakir dan miskin merupakan urutan pertama dan kedua dari delapan asnaf mustahiq yang disebutkan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60, serta ditegaskan pula dalam Hadits shahih Bukhari Muslim sewaktu Muadz bin Jabal diutus ke Yaman oleh Rasulullah SAW, bahwa zakat itu ”tu’khad min aghniyaaihim faturaddu ila fuqaraaihim” (diambil dari orang-orang kaya mereka untuk diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka). Strategi pentasharufan zakat dalam membangun peradaban zakat di Indonesia tidak boleh bergeser dari landasan pokok di atas. Dengan kata lain, kebutuhan hidup fakir miskin, dan anak-anak terlantar termasuk di dalamnya, haruslah menjadi prioritas utama dalam pentasharufan zakat. Prioritas kebutuhan mustahiq di suatu negara dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti garis kemiskinan, kebutuhan hidup minimum, serta kebutuhan hidup layak. Oleh karena itu, pendayagunaan zakat yang berhasil di suatu negara, belum tentu cocok diterapkan di negara lain dengan kondisi sosial ekonomi serta standar kehidupan masyarakat yang berbeda. Pada akhirnya perlu digaris-bawahi, penerapan prinsip-prinsip syariah dan kemaslahatan umat yang menjadi maqoshid zakat merupakan pilar utama dalam pengelolaan zakat. Amil harus taat pada kaidah syariah dalam pengelolaan zakat, karena itulah yang akan mengawal tegaknya integritas dan kepercayaan masyarakat (public trust) kepada organisasi pengelola zakat. Wallahu a’lam bisshawab.

Senin, 11 Juni 2012

Sinergi Zakat dan Pajak

Di negara dengan mayoritas Muslim seperti di Indonesia, pengumpulan zakat memiliki potensi yang besar, tapi hingga saat ini zakat belum mempunyai peran yang cukup besar dalam menangani masalah sosial, ekonomi, dan fakir miskin. Bagi umat Islam yang telah memenuhi persyaratan sebagai wajib zakat, salah satu kewajibannya (rukun Islam) adalah membayar zakat. Peruntukan zakat juga telah ditetapkan dalam syariat Islam, yakni tujuh golongan penerima (mustahik). Zakat dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) di berbagai tingkat kewilayahan dari kecamatan hingga nasional. Pemerintah juga mengukuhkan pengumpulan zakat oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Menurut informasi, tahun lalu nilai zakat yang dikumpulkan melalui BAZ dan LAZ di Tanah Air secara nasional tidak lebih dari Rp 1,5 triliun. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan potensi penghasilan nasional yang dimiliki. Jika dilihat dari pendapatan per kapita 2010, yakni 26 juta rupiah per tahun ataupun dari nilai penghasilan orang pribadi kena pajak, paling tidak bisa terkumpul lebih dari dua kali lipat dari nilai zakat yang ada sekarang. Itu pun hanya dari zakat yang berasal dari penghasilan orang pribadi dan belum termasuk penghasilan dari badan usaha, penghasilan pribadi yang berasal dari kekayaan, dan aset yang meningkat nilainya. Langkah maju Meskipun pajak dan zakat memiliki titik singgung yang sama, yaitu kewajiban yang mengikat dan kekuasaan yang menekan, di antara dua hal itu terdapat perbedaan penting. Pertama, zakat adalah ibadah yang merupakan kewajiban kepada Tuhan sedangkan pajak merupakan kewajiban kepada negara. Kedua, nisab dan persentase zakat ditetapkan oleh syariat, sedangkan pajak ditentukan oleh UU yang merupakan produk DPR dan pemerintah. Lalu, ketiga, sasaran pajak terbatas, hanya target materi. Sedangkan zakat merupakan ibadah yang sekaligus pungutan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No 25 Tahun 2010 disebutkan, untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, boleh dikurangkan terhadap zakat atas penghasilan, yang nyata-nyata dibayar wajib pajak pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam kepada BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan pemerintah. Meskipun sudah dituangkan dalam UU PPh terhadap pajak sebagai pengurang penghasilan bruto, yakni unsur yang dapat dibiayakan (deductible items), banyak kalangan yang menghendaki zakat menjadi faktor pengurang kewajiban pajak orang pribadi/badan usaha atau tax credit yang disetorkan ke kas negara. Ide pembayaran zakat sebagai pengurang setoran pajak diusung Kementerian Agama dan beberapa organisasi massa Islam untuk dimasukkan ke amendemen RUU Zakat. Di Indonesia, dengan rumusan tersebut, bisa jadi potensi zakat mencapai triliun rupiah lebih banyak dari yang sekarang ada. Namun, jika ide itu diterapkan, penerimaan pajak negara berkurang dalam jumlah yang hampir sama dan menimbulkan implikasi potensi restitusi (pengembalian pajak). Belum lagi pemotongan penerimaan pajak harus masuk keuangan negara dan ditetapkan dalam UU APBN dengan alokasi belanja tertentu dengan sistem dan administrasi yang kompleks. UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat memang telah menampung masalah hubungan antara zakat, pajak, dan keuangan negara. UU tersebut merupakan langkah maju sebab sejak republik ini berdiri, sejak itu pula zakat terabaikan dalam konstitusi kenegaraan. Sebagai lembaga yang paling sah dan resmi mengelola zakat, pemerintah sadar bahwa selama ini telah menyia-nyiakan kesempatan. Zakat memiliki potensi yang begitu besar, tapi hingga saat ini belum memiliki kekuatan apa pun dalam menangani masalah kemiskinan di negeri ini. Karena itu, sebagian kalangan mengatakan bahwa klausul zakat mengurangi pajak begitu penting. Disebutkan dalam UU itu, zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau LAZ dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, meskipun telah sejak 1999, ketentuan pengumpukan zakat tersebut baru dapat dilaksanakan sejak UU Pajak Penghasilan ditetapkan dalam UU No 17 Tahun 2000 (sekarang telah diamendemen menjadi UU No 25 Tahun 2010) yang diberlakukan mulai 2001. Meskipun telah berjalan hingga sekarang, kalangan cendekiawan dan aktivis organisasi Islam mencita-citakan kenaikan pengumpulan zakat dari bagian pembayaran pajak penghasilan. Pengurang penghasilan bruto Mengurangkan zakat dari penghasilan bruto wajib pajak tidak dipermasalahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, namun kewajiban pajak yang disetor dikurangi dengan zakat jelas-jelas mempunyai pengertian dasar dan fiskal yang sangat berbeda. Dari perspektif perpajakan, paling tidak terdapat dua alasan keberatan. Pertama, Undang-Undang Perpajakan sudah mengakomodasi kewajiban membayar zakat di kalangan umat Islam. Dalam UU tersebut, zakat digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan bruto wajib pajak. Nilai kewajiban pajak, lanjut dia, dihitung dari penghasilan bersih yang telah dikurangi dengan faktor pengurang, termasuk zakat. Alasan kedua, zakat dianggap sebagai kewajiban religius, bukan kewajiban bernegara. Implikasinya, zakat dan pajak merupakan dua entitas yang berbeda sehingga harus ditarik secara terpisah. Pada prinsipnya, sudah selayaknya zakat menjadi pengurang penghasilan bruto orang pribadi dan badan usaha, bukan pengurang pajak. Alasan pertama, yang menjadi basis perhitungan zakat adalah penghasilan, bukan setoran pajak. Jadi, pembayaran zakat dihitung dari besarnya penghasilan bruto. Sementara itu, sisanya adalah pajak penghasilan bagi orang pribadi di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan pengusaha kena pajak (PKP) untuk badan usaha. Prinsipnya, zakat merupakan bagian dari penghasilan bruto (deductible items), bukan pembayaran pajak (tax credit). Kedua, pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang setoran pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Ditambah lagi, apabila diterapkan, tax credit bisa menimbulkan restitusi, yang proses administrasinya cukup rumit dan rawan. UU Zakat memang perlu disempurnakan dengan menegaskan lagi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, seperti amanah UU PPh dan UU Zakat, pengelolaan zakat, khususnya RUU Zakat. Di samping itu, perlu juga ditampung beberapa hal penting. Alasannya, pertama, UU No 25/2010 (eks UU 17/2000) dan UU No 38/ 1999 belum konsisten dalam menampung seluruh aspek zakat. Dalam UU No 25/2010, dinyatakan yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan. Padahal, pada saat yang sama, UU No 38/1999 menyebutkan bahwa zakat (tanpa embel-embel atas penghasilan) bisa dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Selain itu, sangat jelas, yang dimaksud zakat dalam UU No 38/ 1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum Muslimin sesuai dengan ketentuan agama. Antara lain, emas, perak, dan saham, obligasi perdagangan dan perusahaan juga wajib dizakati. Begitu pula hasil pertanian, perkebunan, pertambangan, dan peternakan. Belum lagi apabila pembayaran sedekah dan infak dikaitkan cara pengumpulan pengurang penghasilan bruto, potensinya juga akan besar. Kedua, UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki. Dikatakan dalam UU No 3 8/1999, pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat, tapi juga muzaki yang tidak melaksanakan kewajiban. Pemerintah juga perlu tetap mengukuhkan dan mengawasi LAZ yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Tujuannya, pengelolaan dana zakat bisa lebih profesional. Saya tetap yakin atas potensi zakat yang cukup besar, meskipun digunakan formula sebagai pengurang penghasilan bruto dan sumber harta yang disisihkan serta penerapan sanksi yang memadai. Ditambah dengan profesionalitas BAZ dan LAZ, potensi penerimaan zakat kita akan bisa membantu mengentaskan kemiskinan. Saya juga yakin bahwa penerimaan pajak bisa ikut naik karena pada saat yang bersamaan dihitung dengan zakat. Dengan begitu, dua hal itu, baik zakat maupun pajak, bakal memiliki sasaran rohaniah, akhlak, dan insaniah (kemanusiaan) sekaligus. Bulan Ramadhan adalah bulan solusi untuk merumuskan intensifikasi dan sinergi zakat serta pajak melalui silaturahim di antara para ahli dan pakar.

Seputar Zakat

1. Zakat dan Biaya Membangun Rumah Saya mempunyai teman yang akan berzakat. Kalau dihitung dari gaji bulanan, telah mencapai nishob. Tetapi dia kebetulan sedang membangun rumah yang tentunya membutuhkan waktu yg tidak sebentar, dan biaya yg tdk sedikit. pertanyaan saya, apakah biaya pembangunan rumah bisa dijadikan pengurang dari harta yg wajib dizakati? Assalamu alaikum wr.wb. Pertama-tama perlu dipahami bahwa untuk zakat profesi, maka ia dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau pendapatan.Lalu Bagaimana cara menghitung dan cara mengeluarkannya? Dalam hal ini ada kalangan yang berpendapat bahwa zakat profesi itu harus dikeluarkan dalam keadaan kotor tanpa harus melihat kebutuhan atau pengeluaran seseorang. Juga tanpa harus melihat hutang-hutang yang dimilikinya. Ini adalah sebuah pandangan yang berbeda dengan pandangan lainnya. Menurut kelompok ini, semua uang yang masuk ke kantong seseorang harus dikeluarkan zakatnya senilai 2,5 % dari total penerimaan. Dan waktu pelaksanaannya adalah pada setiap saat menerima uang tersebut. Pendapat lainnya mengatakan bahwa bila seorang memiliki penghasilan, maka hendaknya dia keluarkan untuk kebutuhan pokoknya terlebih dahulu. Seperti untuk makan, pakaian, rumah, pendidikan anak, pembangunan rumah, dan seterusnya. Bila semua kebutuhan asasi untuk menunjang hidupnya telah terpenuhi, maka sisa atau kelebihanya itulah yang harus dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini, hutang-hutang pun dianggap bagian dari kepentingan atau kebutuhan hidup. Terutama hutang yang memang secara langsung berkaitan dengan hajat pokok pekerjaannya. Pendapat ini tidak mengatakan untuk memotong 2,5 % terlebih dahulu, tetapi keluarkan dahulu kebutuhan pokok baru kemudian kelebihannya dikeluarkan untuk zakat yaitu sebesar 2,5 %. Melihat dua kubu ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi mencoba mempertemukan kedua pendapat yang berbeda itu. Jalan tengah yang beliau tawarkan adalah memisahkan antara mereka yang memiliki pendapatan tinggi dengan yang pendapatannya rendah. Beliau mengatakan bahwa bagi kalangan yang pendapatannya sangat tinggi. seperti –katakanlah- dokter spesialis, konsultan hukum atau profesi lainnya yang dengan mudah bisa mendapatkan dana cukup besar dengan tanpa terlalu bersusah payah, maka sebaiknya menggunakan metode yang pertama dalam mengeluarkan zakat. Yaitu memotong 2,5 % dari pemasukan kotornya sebelum digunakan untuk kepentingan dirinya. Sedangkan mereka yang terhitung pas-pasan penghasilannya sedangkan tanggungan hidupnya cukup besar, maka disarankan menggunakan metode yang kedua, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu semua daftar kebutuhan pokoknya termasuk hutang-hutangnya. Setelah itu barulah dari sisanya dikeluarkan 2,5 % untuk zakatnya. Karena bila harus dikeluarkan dari pemasukan kotor, jelas akan sangat memberatkannya. Buat Anda sendiri, Anda bisa meminta fatwa kepada hati nurani Anda. Termasuk kelompok yang manakah diri Anda saat ini?Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum wr.wb. 2. Zakat Sebelum Membeli Emas Salamualaikum Ustadz, Selain mendapatkan gaji, saya juga punya pendapatan tidak tetap dari jasa. Biasanya saya belikan emas batangan untuk disimpan. Pertanyaannya, misalnya pada bulan tertentu saya mendapatkan 6 juta. Apakah saya keluarkan dulu 2,5% zakatnya baru dibelikan emas, atau saya tunggu 85 gram emasnya dulu baru saya keluarkan zakatnya. Terima kasih ustadz, semoga Allah memberkahi ustadz Assalamu alaikum wr.wb. Setiap kali Anda mendapatkan gaji, pendapatan, atau penghasilan hendaknya Anda langsung membayarkan zakatnya sebanyak 2,5 % jika gaji atau pendapatan tersebut (entah tetap ataupun tidak tetap) sudah mencapai nishab. Angka 6 juta rupiah tentu sudah melebihi nishab. Zakat profesi atau pendapatan dalam hal ini oleh sebagian ulama di analogikan kepada zakat pertanian dilihat dari sisi nishab dan cara pengeluarannya (setiap kali panen atau mendapat penghasilan) serta dianalogikan dengan emas atau mal dari sisi prosentase zakatnya (2,5%). Jadi ketika Anda mendapatkan pendapatan yang mencapai atau melebihi nishab hendaknya langsung dibayarkan zakatnya sebesar 2,5%. Lalu kalau kemudian sisanya dibelikan emas, maka akan terkena zakat emas apabila jumlahnya sudah mencapai 85 gram dan sudah dimiliki selama setahun. Wallahu a'lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb. 3. Menyikapi Barang Temuan (LUQATHAH) Adi Assalamu'alaikum wr.wb. 1. Apabila kita menemukan uang senilai Rp 100 rb di jalan, apakah ini bisa kita kategorikan harta temuan dan wajib dizakati? Mengingat apabila diumumkan siapa yang memilikinya akan sangat kesulitan berkenaan dengan media dan biayanya. Bagamana sebaiknya? 2. Bagaimana apabila yang kita temukan berupa barang? Wassalamu'alaikum wr.wb. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: Uang yang kita temukan di jalanan pastilah ada pemiliknya. Dan pemiliknya itu adalah orang yang paling berhak untuk memilikinya kembali. Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih, kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus dilakukan. Bila Menemukan Barang Hilang, Apa Yang Harus Dilakukan? a. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram. b. Al-Malikiyah mengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya. c. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan. d. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya. Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang. Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya. Bila Tidak Ada Yang Mengakui? Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 4. Perhitungan Zakat Bagi Penanggung Hutang Abu Izzat Assalamu'alaikum Wr. Wb. Para Ustadz yang dimuliakan Allah...Alhamdulillah saat ini saya sedang bekerja sebagai Konsultan Manajemen pada Program Pengembangan Kecamatan dan untuk menunjang kerja saya (karena harus melakukan kunjungan lapangan) maka saya telah mengambil Kendaraan dengan cicilan Rp. 2.900.000,-/bulan. Sedangkan penghasilan saya kurang lebih Rp. 6.000.000,- tiap bulannya. Pertanyannya, berapa besarnya zakat Profesi yang harus saya bayar dan sebaiknya tiap bulan atau tiap tahun zakat tersebut saya bayarkan? Jazakumullah kairan katsiiran atas kesediaan Ustadz untuk menjawab pertanya saya ini. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: Aturan zakat profesi memang masih sering menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan para ulama kontemporer. Sehingga bila nantinya Anda mendapatkan beberapa versi penghitungan yang beragam, jangan terlalu kaget. Karena masing-masing fuqoha memang memiliki persepsi dan hujjah sendiri-sendiri dalam memandang bentuk pelaksanaan zakat profesi. Dari apa yang kami telaah, ada kalangan yang berpendapat bahwa zakat profesi itu harus dikeluarkan dalam keadaan kotor tanpa harus melihat kebutuhan atau pengeluaran seseorang. Juga tanpa harus melihat hutang-hutang yang dimilikinya. Ini adalah sebuah pandangan yang berbeda dengan pandangan lainnya. Menurut kelompok ini, semua uang yang masuk ke kantong seseorang harus dikeluarkan zakatnya senilai 2,5 % dari total penerimaan. Dan waktu pelaksanaannya adalah pada setiap saat menerima uang tersebut. Misalnya para selebriti, konsultan, dokter spesialis dan lain-lain. Setelah diptong 2,5 % barulah sisanya digunakan untuk semua kebutuhannya termasuk membayar cicilan hutang. Pendapat lainnya adalah yang mengatakan bahwa bila seorang memiliki penghasilan, maka hendaknya dia keluarkan untuk kebutuhan pokoknya terlebih dahulu. Seperti untuk makan, pakaian, rumah, pendidikan anak dan seterusnya. Bila semua kebutuhan asasi untuk menunjang hidupnya telah terpenuhi, maka sisa atau kelebihanya itulah yang harus dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini, hutang-hutang pun dianggap bagian dari kepentingan atau kebutuhan hidup. Terutama hutang yang memang secara langsung berkaitan dengan hajat pokok pekerjaannya. Pendapat ini tidak mengatakan untuk memotong 2,5 % terlebih dahulu, tetapi keluarkan dahulu kebutuhan pokok baru kemudian kelebihannya dikeluarkan untuk zakat yaitu sebesar 2,5 %. Ketika melihat dua kubu ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi mencoba mempertemukan kedua pendapat yang agak berbeda. Jalan tengah yang beliau tawarkan adalah memisahkan antara mereka yang memiliki pendapatan tinggi dengan yang pendapatannya rendah. Beliau mengatakan bahwa bagi kalangan yang pendapatannya sangat tinggi seperti –katakanlah- dokter spesialis, konsultan hukum atau profesi lainnya yang dengan mudah bisa mendapatkan dana cukup besar dengan tanpa terlalu bersusah payah, maka sebaiknya menggunakan metode yang pertama dalam mengeluarkan zakat. Yaitu memotong 2,5 % dari pemasukan kotornya sebelum digunakan untuk kepentingan dirinya. Dan kelihatannya pendapat beliau ini realitis. Kita bisa bayangkan bila ada artis yang sekali manggung dibayar Rp. 15 juta, maka bila dia keluarkan 2,5 % saat menerima honor yaitu sebesar Rp. 375.000,- tentu tidak terasa berat. Bahkan buat kalangan mereka, uang segitu mungkin sekedar biaya jajan bakso di pinggir jalan sambil mentraktir teman lama. Sedangkan mereka yang terhitung pas-pasan penghasilannya sedangkan tanggungan hidupnya cukup besar, maka disarankan menggunakan metode yang kedua, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu semua daftar kebutuhan pokoknya termasuk hutang-hutangnya. Setelah itu barulah dari sisanya dikeluarkan 2,5 % untuk zakatnya. Karena bila harus dikeluarkan dari pemasukan kotor, jelas akan sangat memberatkannya. Buat Anda sendiri, Anda bisa meminta fatwa kepada hati nurani Anda. Termasuk kelompok yang manakah diri Anda saat ini ? Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 5. Kriteria Fakir Dan Miskin Oan Assalamu'alaikum wr. wb., 1. Dalam menyampaikan zakat maal, selain dapat menyalurkan melalui Badan Amil Zakat, apakah dapat langsung menyampaikan kepada orang fakir dan orang miskin? 2. Mohon penjelasan kriteria dari orang fakir dan orang miskin. 3. Apakah mendahulukan kepada keluarga/kerabat lebih baik dari pada memberikan zakat kepada orang lain. Terima kasih, Wassalam. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: 1. Dalam membayarkan zakat maal, muzakki diperbolehkan membayarkan langsung kepada mustahiqnya atau melalui amil zakat. 2. Fakir dan miskin adalah golongan orang-orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dan apabila kata miskin disebutkan secara sendiri maka kata tersebut mencakup juga golongan fakir demikian juga sebaliknya. Tetapi jika keduanya disebutkan secara berbarengan, para ulama berbeda pendapat tentang mana diantara mereka yang paling memerlukan bantuan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“ (QS. At-Taubah : 60 ) Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa orang fakir lebih memerlukan bantuan daripada orang miskin, karena Allah SWT menyebutkan golongan tersebut lebih dulu dalam ayat diatas. Ini menunjukkan bahwa keadaan mereka lebih parah daripada keadaan orang-orang miskin. Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: ”Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera“ (QS. Al-Kahfi : 79) Ayat ini menjelaskan menegaskan bahwa orang miskin itu lebih baik keadaannya daripada orang fakir dikarenakan mereka memiliki perahu atau bahtera yang dapat dijadikan alat untuk mencari nafkah. Di samping itu, dari asal kata, kata fakir adalah isim fa’iil yang bermakna maful yaitu orang yang dipatahkan tulang rusuknya. Sedangkan kata miskin terambil dari kata as-sukun (diam atau tenang) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang patah tulang rusuknya lebih parah kedaannya daripada orang yang diam (tidak bekerja) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa orang miskin lebih parah kondisinya daripada orang fakir sebagaimana firman Allah SWT : ”atau kepada orang miskin yang sangat fakir“ (QS. Al-Balad :16) Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita pahami bahwa kriteria seseorang dikatakan miskin atau fakir adalah jika orang tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. Dalam kondisi tertentu, memberikan zakat kepada kerabat yang bukan tanggungan adalah lebih utama daripada memberikannya kepada orang lain. Dalam Majmul Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah ditanya tetang persoalan shodaqoh yang diberikan kepada kerabat yang membutuhkannya dan kepada yang lainnya? Beliau menjawab: “Jika harta yang diberikan tersebut tidak mencukupi untuk kerabat dan orang lain, maka memberikannya kepada kerabat adalah wajib, maka orang lain tidak perlu diberikan selama ada kerabat yang membutuhkannya. Sedangkan zakat dan Kaffarat, maka hal tersebut boleh diberikan kepada kerabat yang bukan menjadi tanggungannya, bahkan kerabat tersebut lebih utama untuk diberikan daripada orang lain jika kondisi dan keadaan mereka adalah sama” (Majmu’ul Fatawa XXV/93) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 6. zakat perniagaan Assalamualaikum wr. wb. Pertanyaan: Pak ustadz yang dirahmati Allah, saya dan suami saya saat ini mempunyai usaha makanan dengan modal keseluruhan 12 juta yang saya dapatkan dari pinjaman, sedangkan modal berputar 1 juta, dengan pendapatan 200rb/hari, hasil dari berdagang kami gunakan untuk membayar sewa tempat dan makan sehari-hari, yang mau saya tanyakan 1. Bagaimana cara menghitung zakatnya, sedangkan hasil dagang sebagian untuk membayar hutang 2. bagaimana jika dalam 1 tahun uangnya tidak tersisa, apakah zakat niaga tetap hrs dikeluarkan 3. bagaimana menghitung zakat penghasilan yang tidak menentu dari profesi sebagai marketing. Terima kasih. Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Zakat perdagangan dikeluarkan jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Usaha perniagaan atau perdagangannya sudah mencapai haul (satu tahun). 2. Sudah mencapai nishab (kadar minimal mengeluarkan zakat) yaitu senilai 85 gram emas. Cara menghitungnya: (modal berputar + piutang + keuntungan) - (hutang + rugi). Kadar zakatnya sendiri adalah 2,5%. Jadi, jika usaha Anda sudah berlangsung selama satu tahun lebih lalu juga sudah mencapai nishab, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Namun jika tidak mencapai setahun, atau tidak mencapai nishab, maka ia tidak wajib dizakati. Wallahu a'lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb. 7. Zakat Tanah, Sedangkan Sertifikat Tidak Ada Abdullah Pertanyaan Assalamu'alaikum, ustadz-ustadz pusat konsultasi syariah yang semoga selalu dirahmati Allah.. Saya bbrp bulan yang lalu membeli tanah dengan bantuan uang rumah dari perusahaan tempat saya bekerja. Uang itu diberikan dengan kondisi: sertifikat tanah dipegang perusahaan selama 15 tahun saya bekerja di perusahaan tsb dan selama itu saya tidak diperkenankan keluar utk pindah kerja dari perusahaan ini. Bila ingin keluar, saya harus membayar sejumlah uang sebagai ganti uang rumah tadi. Sampai saat ini saya belum punya cukup uang utk membangun rumah di atas tanah tsb. Saya sendiri sebelumnya sudah punya rumah. Haruskah saya mengeluarkan zakat atasnya. Kalau harus, berapa kadarnya ? Syurkon atas jawabannya Wassalamu'alaikum Jawaban Assalamu `alaikum Wr. Wb. Diantara syarat dari harta yang wajib dizakati adalah bahwa harta itu tumbuh (an-Nama'). Yang dimaksud dengan harta yang tumbuh atau berkembang adalah harta yang bisa dijadikan sebagai modal atau sarana mengembangkan nilai harta itu. Dan sebaliknya, yang tidak berkembang maksudnya adalah harta yang memang digunakan sehari-hari oleh pemiliknya untuk manfaat dan sarana hidupnya secara langsung atau tidak memberikan pemasukan atau keuntungan. Sebagai contoh harta yang berkembang dan tidak berkembang adalah Tanah dalam Islam tidak termasuk harta yang harus dizakati, kecuali jika tanah tersebut diberdayakan misalnya dengan ditanami atau disewakan. Begitu juga dengan kendaraan. Bila kendaraan itu digunakan oleh pemiliknya sarana mengembangkan harta itu dengan menyewakannya sebagai taksi atau kendaraan carteran, maka dikatakan harta itu berkembang dan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan bila dia menggunakan sendiri untuk keperluan sehari-harinya dalam bepergian, maka dikatakan harta yang tidak berkembang dan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh lainnya adalah bangunan rumah. Apabila ditempati sendiri untuk dirinya dan keluarganya sebagai tempat tinggal, maka rumah itu bukan harta yang berkembang. Tetapi bila disewakan kepada orang lain sehingga ‘berkembang’ alias memberi pemasukan, maka rumah itu dikatakan harta yang berkembang. Karena itu sejak awal para ulama tidak mewajibkan pemilik kuda untuk mengeluarkan zakat hewannya itu, karena kuda bukan termasuk harta yang dikembangkan. Kuda pada masa itu dijadikan alat transportasi sehari-hari bagi setiap orang. Sebaliknya, memiliki sapi, kambing atau unta adalah bentuk usaha yang sifatnya mengembangkan harta. Sehingga memiliki hewan-hewan itu untuk sengaja diternakkan akan melahirkan kewajiban zakat. Begitu juga dengan kepemilikan perhiasan emas dan perak. Bila emas dan perak itu merupakan pakaian yang dikenakan oleh wanita, maka bukan termasuk harta yang dikategorikan berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Sebaliknya bila emas itu disimpan sebagai tabungan, maka jadilah dia barang yang berkembang sehingga wajib dizakati. Karena bila seserang memiliki tanah tapi tanah itu diam tidak berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat. Namun bila tanah itu berubah menjadi harta yang tumbuh seperti ditanami atau disewakan kepada pihak lain, barulah saat itu ada kewajiban zakat. Dalam kasus ini jika tanah tersebut ditanami dengan tanaman produktif, maka zakatnya mengikuti kepada aturan zakat pertanian. Atau bila disewakan, maka jadilah dia harta yang tumbuh dan memberikan pemasukan. Zakatnya adalah mengacu kepada zakat investasi. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 8. Berpesan Kepada Muzakki Aan Pertanyaan Assalamu’alaikum, Saya ingin bertanya, ketika kita menyerahkan zakat maal kita kepada muzakki, bolehkah kita berpesan kepadanya misalnya agar uang zakat tsb digunakan untuk tambahan modal kerja? Mengingat bahwa ketika uang zakat telah diberikan maka cara penggunaannya adalah 100% hak penerima. Jazakallah khairan katsiran. Wassalam. Jawaban Assalamu`alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Pesan tentu saja berbeda dengan syarat, sehingga kalau sekedar berpesan kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat bukan muzakki) agar dia menggunakan uangnya dengan sebaik-baiknya atau untuk modal kerja, boleh-boleh saja. Namun pesan itu bukanlah syarat yang mengikat. Sehingga Anda sebagai pemberi zakat (muzakki) tidak berhak untuk mencabut kembali harta itu bila ternyata si penerima zakat tidak melakukan pesan anda. Karena seperti kata anda, dana zakat itu bila telah diserahkan kepada yang berhak, maka dia 100 % punya hak untuk menggunakannya. Namun memang sebaiknya dana zakat itu dikelola oleh sebuah lembaga profesional yaitu amil baik dalam bentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun Badan Amil Zakat (BAZ). Dimana mereka lah nantinya yang berkewajiban untuk mengarahkan dan melatih serta menyiapkan para fuqara dan masakin agar bisa lebih memberdayakan dana zakat yang telah mereka terima. LAZ/BAZ ini pula yang berkewajiban untuk memberikan 'kail', melatih memancing serta memberikan lahan untuk memancing kepada mereka itu. Sedangkan kewajiban kita sebagai muzakki hanya sebatas menyetorkan harta zakat kita kepada amil zakat (LAZ/BAZ). Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 9. Perhitungan Zakat Pakai Qomariyah/Syamsiyah? Qiwoy Al Bantani Assalamu'alaikum Wr. Wb 1. Jika kita ingin mengeluarkan zakat misal zakat profesi dengan mengakumulasikan perhitungan dalam satu tahun, maka peredaran tahun manakah yang digunakan bulan syawal bertemu syawal atau bulan desember bertemu desember? 1 tahun qomariyah atau samsiyah? 2. Jika kita membuka suatu usaha bersama dengan modal bersama berapa perhitungan zakatnya? Perhitungan berdasarkan besarnya modal yang terkumpul atau omzet atau profit yang didapat? apakah juga dihitung setelah dikurangi komisi yang dikeluarkan 3. Do'a apa yang hendaknya kita ucapkan saat mengeluarkan zakat? Wassalamu'alaikum Wr.Wb Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d 1. Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi. 2. Usaha yang dilakukan perlu dijelaskan terlebih dahulu seperti apa bentuknya, apa usaha jual beli, penyewaan, pertanian, peternakan atau lainnya. Kalau sifatnya adalah jual beli dengan bentuk membeli barang lalu menjualnya kepada pembeli, maka yang dizakati adalah modal yang berputar, sedangkan asset atau modal yang diam seperti rumah, gedung, alat-alat dan yang lainnya tidak termasuk yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya. Aturan lebih jelasnya silahkan anda baca masalah zakat perdagangan. Sedangkan kalau bentuknya sewa-menyewa, seperti menyewakan rumah, kendaraan, tanah dan lainnya, maka yang dihitung adalah pemasukannya. Setelah dipotong dengan biaya operaional dan sebagainya. Masalah lebih jelasnya silahkan anda baca dalam masalah zakat investasi. 3. Doa yang dibaca saat mengeluarkan zakat tidak kita temukan dalil yang shahihnya. Sebaliknya yang ada adalah doa yang diucapkan oleh amil zakat saat menerima setoran zakat untuk disalurkan kepada mutahiqnya. Hal itu sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW saat menerima penyaluran zakat : Dari Abdullah bin Abi Aufa ra berkata, "Bila ada satu kaum yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa zakat, maka beliau berdoa : " Allahumma Shalli 'alaa Aali Fulan." Kemudian bapakku datang kepada beliau dengan membawa zakat, maka beliau pun berdoa "Allahumma Shalli 'alaa Aali Abi Aufa" (HR. Bukhari) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 10. Perhitungan & Pembayaran Zakat Penghasilan Rahman Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setiap bulan saya melakukan pembayaran zakat (2.5%) atas penghasilan saya setelah dipotong dengan perkiraan pengeluaran selama 1 bulan. Nilai tersebut saya bagikan ke beberapa orang anak yatim sampai habis. Apakah cara pembayaran zakat yang saya lakukan sudah benar? Kalau salah bagaimana yang seharusnya berdasarkan Syar'i? Tolong sebutkan juga hadist2 yang berhubungan? Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Jawaban: Assalamu`alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Apa yang anda lakukan dalam mengeluarkan zakat (profesi) atas penghasilan anda sudah baik, yaitu mengeluarkan 2,5 dari penghasilan. Seandainya semua umat Islam yang telah berpenghasilan melakukan seperti apa yang telah Anda lakukan, maka kemiskinan di dunia ini bisa dengan mudah diatasi. Apalagi kita pun pernah secara empiris membuktikan kebenaran hal itu, yaitu ketika masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz di Damaskus. Saat itu, zakat telah berhasil mengubah orang menjadi berkecukupan sehingga tidak ada lagi ditemukan para mustahiq zakat. Rakyat telah mengalami kemakmuran yang merata dan merasakan kesejahteraan yang sesungguhnya. Bukan sekedar slogan dan perkataan, tetapi benar-benar terjadi. Saat itu ummat Islam berhasil menjalankan sistem zakat dimana seluruh wajib zakat melaksanakan kewajiban mereka secara sadar. Sehingga baitul mal menjadi penuh dan saat itulah sejarah mencatat bahwa kemiskinan betu-betul berhasil dientaskan. Namun kalau boleh sedikit memberi masukan kepada Anda, yaitu dalam masalah penyaluran zakat itu. Sebenarnya harta yang Anda keluarkan itu bisa terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat wajib yang kita sebut zakat dan yang bersifat sunnah yang sering kita sebut infaq atau sedekah. Zakat sebagai pengeluaran yang bersifat wajib, sesungguhnya telah memiliki aturan tersendiri. Misalnya tentang berapa besar yang harus dikeluarkan. Hitungan Anda sebesar 2,5 persen dari penghasilan bersih itu sudah tetap. Hanya ada hal yang juga perlu Anda perhatikan tentang kemana dana itu disalurkan. Khusus dalam masalah zakat, Allah SWT telah menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan saluran dana zakat itu. Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT menjelaskan bahwa zakat itu disalurkan kepada 8 kategori atau yang sering disebut dengan 8 ashnaf. Lengkapnya ayat itu adalah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] pengurus-pengurus zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk budak, [6]orang-orang yang berhutang, [7] untuk jalan Allah dan untuk [8] mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan .(QS. At-Taubah : 60). Jadi bukan untuk anak yatim karena di dalam ayat ini tidak disebutkan. Maka untuk anak yatim, diambilkan dari saluran lainnya selain zakat. Misalnya infaq sunnah Anda di luar yang 2,5 % dari penghasilan bersih Anda. Begitu juga dalam mekanisme penyalurannya, sejak dahulu yang namanya penyaluran dana zakat itu selalu ditangani oleh amil zakat, yaitu sebuah organisasi profesional yang melakukan proyek pengumpulan dana zakat atas wewenang dari Khalifah/Sultan. Karena mereka kerja secara profesional dan serius, maka Allah SWT pun sejak awal telah memberikan hak kepada mereka untuk mendapatkan bagian dari dana zakat itu. Di masa sekarang ini dimana kita hidup di luar sistem khilafah Islam, maka peran lembaga itu bisa digantikan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) yang kini sudah sangat banyak di sekitar kita. Peran LAZ/BAZ inilah yang ditunggu oleh ummat untuk mengentaskan kemiskinan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz di masa lalu. Untuk itu semua elemen umat Islam ini harus turut menyukseskannya dengan menyalurkan dana zakat ke LAZ/BAZ yang resmi. Agar dana zakat itu bisa lebih efektif dan efisien dikelola secara profesional. Karena itu sebaiknya Anda tidak memberi langsung dana zakat, tetapi seotran ke LAZ/BAZ yang terdekat dengan Anda. Ini sifatnya wajib karena merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Kalau seseorang menolak mengeluarkan zakat, maka Allah SWT telah menyediakan berbagai macam ancaman yang pedih. Adapun bila Anda ingin mendapatkan harta dan rezeki yang berkah dan lebih berlimpah, Anda bisa mengeluarkan infaq sunnah atau sedekah tambahan kepada anak-anak yatim yang menurut Anda memang berhak. Namun dana di luar dana zakat yang Anda setorkan ke LAZ/BAZ. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 11. Menginvestasikan Harta Zakat Syafiatul Rochmah Pertanyaan: 1.Bagaimana hukum menanamkan harta zakat sebagai modal dalam industri proyek ekonomi seperti pembangunan perumahan dll? 2. beserta referensi yang dapat dibaca kembali! Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Harta zakat itu pada prinsipnya adalah hak 8 asnaf sebagaimana yang disebutkan di dalam surat At-Taubah ayat 60. Dan tugas dari amil zakat adalah bagaimana mengumpulkan harta zakat dari orang-orang kaya yang wajib berzakat lalu menyalurkannya kepada orang-orang tadi. Sedangkan bila amil zakat ingin memanfaatkan dana zakat yang telah terkumpul, maka pada dasarnya mereka telah menggunakan harta yang bukan hak mereka. Kecuali bila telah ada kesepakatan antara para amil zakat itu dengan para mustahik zakat bahwa harta zakat yang telah menjadi hak mereka dikoordinir oleh amil zakat untuk membangun rumah. Atau pengecualian lainnya adalah bila status dana yang digunakan itu bentuknya adalah pinjaman baik secara al-qardhul hasan (pinjaman bebas bunga) maupun akad murabahah. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW dimana ada seorang shahabat yang meminjam uang dari baitul mal untuk dibelikan kambing, lalu ketika sudah untung, maka dia mengembalikan dengan kambing yang lebih baik. Tapi kebijakan untuk boleh meminjamkan dana zakat ini harus dibuat seketat mungkin, karena pada prinsipnya dana itu adalah amanah dan hak milik para mustahik. Jangan sampai masih ada mustahik yang kelaparan, tapi dana zakatnya malah dipinjam-pinjamkan kepada pihak lain yang sudah kekenyangan. Apalagi masih ada resiko pinjaman itu tidak dikembalikan dan sebagainya. Maka tentu hal itu akan menimbulkan masalah baru. Namun ada juga pendapat ulama yang membolehkan dana zakat digunakan untuk membangun proyek usaha, asal hal itu memang dilakukan oleh pihak negara sebagai penanggung-jawab dari amilin. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-Khattab dan juga Imam Atho dari kalangan tabi’in yang intinya membenarkan bila negara menggunakan uang zakat itu untuk proyek yang menguntungkan dan keuntungannya digunakan sepenuhnya untuk para mustahik. Keterangan ini kami dapat dalam kitab Fiqih Zakat karya Al-Qaradawi pada halaman 532. Menganalogikan hal itu, Dr. Didin Hafidhuddin membolehkan bila Lajnah Zakat melakukan hal serupa. Namun dia mengedepankan masalah bahwa lajnah zakat itu seharusnya adalah yang profesional, amanah dan jujur yang melakukan usaha produktif dari dana zakat. Menurut beliau, dana zakat bukan pemberian sesuap dua suap nasi dalam jangka sehari dua hari kemudian para mustahik menjadi miskin lagi, tapi dana zakat itu harus bisa memenuhi kebutuhan hidup secara lebih baik dalam waktu yang relatif lama. (lihat Panduan Zakat Bersama KH. Didin Hafidhuddin hal. 145). Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Konsultasi zakat

Apakah boleh uang zakat untuk membangun masjid? Assalamu'alaikum, Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal: 1. Apakah sah zakat untuk pembangunan masjid dan pesantren? Saya baca di salah satu fiqih sehari-sehari kalau zakat tersebut tidak sah, apakah hal tersebut benar dan apaka zakat saya harus di ulang? Mohon penjelasannya. 2. Apakah zakat itu harus menunggu 1 tahun ataua setiap bulan (setelah gajian) dikeluarkannya. 3. Bagaimana cara mengitung zakat yang benar, seperti setiap bulan saya harus bayar cicilan rumah atau mobil. Apakah hal itu harus dihitung atau penghitungan zakat diluar itu? Sekian pertanyaan dari saya, atas bantuannya saya ucapkan terimakasih. Wassalam, Tasnim iim_itc@yahoo.co.id at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebenarnya kalau merujuk kepada sistem zakat di masa Rasulullah SAW, zakat-zakat itu tidak diserahkan langsung kepada mustahiq. Tetapi diserahkan kepada para petugas pemungut zakat. Kira-kira mirip dengan petugas pajak di masa sekarang ini. Dengan demikian, tidak akan terjadi masalah yang anda tanyakan. Tidak akan muncul pertanyaan seperti bolehkah zakat diserahkan kepada si Anu dan si Anu? Atau untuk lembaga ini dan itu? Karena hak untuk menyerahkan dana zakat ada di tangan para 'amilin (petugas zakat). Dan tentunya para 'amilin ini adalah orang yang ahli di bidang hukum zakat. Mereka bertugas memungut dan mendistribusikan zakat. Tentu ada aturan, acuan, SOP dan petunjuk pelaksanaannya. Ashnaf Zakat Kita sudah tahu bahwa para mustahiq zakat ada 8 kelompok (ashnaf), yaitu seperti yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Quran: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah: 60) Kalau kita lihat sekilas ayat ini, maka jelas sekali bahwa yang namanya masjid, musholla, pesantrendan sejenisnya, tidak termasuk ke dalam daftar penerima zakat. Apalagi mengingat ayat ini dimulai dengan lafadz innama, yang fungsinya lil hashr, atau untuk mengkhususkan. Jadi di luar dari yang disebutkan, tidak boleh menerima harta zakat. Penafsiran Lalu mengapa ada sebagian kalangan yang memasukkan masjid, pesantren dan sejenisnya sebagai penerima zakat? Barangkali yang dilakukan adalah qiyas atau perluasan makna dari istilah fi sabilillah. Yaitu shinf (kelompok) ketujuh dari delapan penerima harta zakat yang disebutkan di ayat zakat. Dan ini memang merupakan objek perdebatan panjang sepanjang sejarah di kalangan para ulama. Sebagian ulama cenderung menyempitkan pengertian fi sabilillah hanya pada tentara yang perang di medan perang. Sebab lafadz fi sabilillah di dalam Al-Quran selalu mengacu kepada medan jihad dan peperangan pisik. Maka mereka menolakbila masjid, pesantren dan lembaga sejenis dikatakan sebagai perluasan makna fi sabilillah. Namun sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa makna fi sabilillah sangat luas, tidak terbatas pada perang di medan pertempuran semata, melainkan juga pada segala yang berbau perjuangan membela agama Islam. Maka mendirikan dan mengelola masjid pun dimasukkan ke dalam kriteria fi sabilillah. Demikian juga dengan mengelola pesantren dan seterusnya. Jalan Tengah Untuk mendekatkan perbedaan pendapat di atas, maka ada beberapa ulama yang membuat jalan tengah. Lantaran masing-masing pihakmasih mengandung kebenaran. Salah satu usulan jalan tengah adalah dengan memiliah kriteria fi sabililah. Misalnya masjid yang didirikan di wilayah minoritas Islam, demikian juga dengan pesantren dan lembaga sejenis. Lembaga seperti itu mirip dengan pasukan tentara yang ada di medan perang, berhadapan langsung dengan lawan untuk mempertahankan agama Islam. Keberadaan masjid dan pesantren di wilayah minoritas ini ibarat sepasukan tentara di mana mereka menjadi pioner dan agen keIslaman. Bedanya, kalau tentara menggunakan bedil dan mesiu, sedangkan masjid dan pesantren dengan dakwah dan pendidikan. Tetapi targetnya sama, mempertahankan agama Islam. Menurut sebagian ulama yang mencetuskan jalan tengah ini, bila demikian kondisinya, masjid dan pesantren boleh dimasukkan ke dalam makna fi sabilillah. Namun tidak semua masjid menyandang misi itu. Betapa banyak masjid yang didirikan di tengah kemegahan, kenyamanan dan boleh dibilang tidak punya tantangan langsung dengan lawan. Demikian juga pesantren dan lembaga sejenis, sudah cukup banyak yang mampu mandiri dan menarik bayaran dari siswanya. Maka sebaiknya masjid dan pesantren seperti ini tidak diberikan harta dari sumber zakat. Tetapi tetap harus disumbang dari sumber-sumber selain zakat, seperti infaq, waqaf, shadaqah jariah, hibah, sahamdan seterusnya. Zakat Gajian Zakat gajian sebenarnya istilah lain dari zakatul mihan wal kasb. Kami sudah sering mengangkat masalah ini, silahkan anda cari dan telaah. Tetapi intinya, zakat gajian ini idealnya dibayarkan setiap bulan, agar tidak berat bila dibayarkan setahun. Tetapi kalau mau membayar tiap tahun, tidak apa-apa. Menghitung Zakat Yang paling sederhana adalah anda angkat telepon ke salah satu lembaga amil zakat dan minta mereka datang menjemput zakat. Mereka akan dengan suka rela menghitungkan zakat anda, karena memang sudah kewajiban mereka sebagai amil zakat. Dan memang adanya Lembaga Amil Zakat adalah untuk membantu para muzakki untuk membayar zakat sesuai dengan hitungan yang tepat. Selamat membayar zakat, semoga rizki anda semakin berlimpah dan barakah, Amien. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc APAKAH ORGANISASI SOSIAL WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT? Assalaamu'alaikum wr wb. Saya ingin bertanya, apakah oraganisasi sosial semacam LSM (non profit) wajib membayar zakat? Bagaimana pula LSM yang memiliki profit/penghasilan dan tabungan sendiri sendiri? Tergolong zakat apakah itu? Terima Kasih-Depoy Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kewajiban untuk mengeluarkan zakat ditentukan berdasarkan jenis harta yang dimiliki. Bukan berdasarkan status sebuah institusi. Zakat tidak ditentukan dari perbedaan status badan hukumnya, apakah sebuah institusi itu berbentuk yayasan, PT, CV, ormas atau orsospol. Zakat dikeluarkan berdasarkan kondisi tertentu yang ada pada suatu harta. Bila suatu harta telah memenuhi syarat tertentu, maka ada kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Sebaliknya, bila suatu harta tidak memenuhi syarat tertentu, maka tidak ada kewajiban untuk membayar zakat dari harta itu. Para ulama telah menyepakati 6 syarat yang harus dimiliki oleh suatu harta, yaitu: 1. Harta itu dimiliki oleh seseorang secara sempurna. Kalau harta itu milik bersama, seperti milik negara, maka dikatakan bahwa harta itu tidak dimiliki oleh seseorang secara sempurna. Setiap orang yang menjadi warga negara punya hak atas harta itu tetapi kepemilikannya tidak sempurna. Dia tidak bisa menggunakan harta negara sepenuh keinginannya dengan cara sah. Maka harta milik negara ini, sebesar apa pun nilainya, tidak ada kewajiban zakat. Termasuk ke dalam harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang sudah diwakafkan oleh pemiliknya. Meski harta waqaf itu berbentuk sebuah perusahan dengan keuntungan besar, tetapi status kepemilikan harta waqaf ada di tangan Allah 2. Harta itu punya sifat an-nama', An-Nama' bisa diartikan tumbuh, produktif atau memberikan nilai tambah. Tanah kosong ribuan hektar yang tidak memberikan penghasilan apapun, tidak ada kewajiban zakatnya. Namun begitu tanah itu digarap secara produktif dan bisa menumbuhkan harta lain, barulah ada zakat yang harus dikeluarkan. Entah dalam bentuk pertanian atau penyewaan lahan dan seterusnya. Rumah yang ditempati oleh pemiliknya, atau dibiarkan kosong, atau dipinjamkan kepada familinya tanpa biaya sewa adalah harta yang tidak produktif, karena itu tidak ada kewajiban zakatnya. Tetapi ketika rumah itu dikontrakkan dan memberikan pemasukan bagi pemiliknya, barulah ada kewajiban zakat. 3. Harta itu telah dimiliki selama satu haul (tahun qamariyah). 4. Harta itu telah mencapai nishab-nya 5. Pemilik harta itu tidak punya kewajiban untuk membayar hutang yang harus segera dibayarkan. Meski seseorang punya uang 10 milyar tetapi kalau dia berhutang yang harus dibayarkan sebesar 10 milyar juga, secara kasar kita katakan bahwa dia tidak punya harta. Atau boleh kita bilang harta itu bukan harta miliknya tetapi harta orang lain yang wajib dibayarkannya. 6. Pemilik harta itu telah mampu membiayai diri dan kebutuhan standar dasar kehidupannya. Meski seseorang punya harta, tetapi harta itu tidak cukup untuk sekedar digunakan berteduh dari panas terik mentari dan hujan, juga tidak bisa untuk sekedar makan penyambung hidup, atau tidak bisa untuk sekedar menutup aurat dengan pakaian, maka dia tidak diwajibkan untuk membayar zakat. Sebab dia adalah orang miskin, bahkan dia berhak menerima pembayaran zakat. Zakat LSM Sesungguhnya yang disebut LSM bukan sebuah institusi profit oriented yang bertujuan bisnis untuk mencari uang. Setidaknya, kalau kita mau jujur dengan fungsi suatu lembaga. Meski tidak sedikit juga sebuah usaha cari uang tetapi menggunakan kedok LSM. Kita tidak usah sebut LSM mana, tetapi kita semua tahu bahwa yang begitu memang ada. Maka kita kembalikan saja kepada fungsi aslinya, kalau LSM itu benar-benar LSM sesuai dengan fungsi aslinya, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat yang sifatnya membantu dan melayani masyarakat, justru LSM itu bisa berhak mendapat harta zakat., seandainya LSM itu berfungsi sebagai Lembaga Amil Zakat. LSM itu tidak perlu membayar zakat. Akan tetapi ada juga LSM yang berbisnis murni, meraih keuntungan yang boleh dibilang sangat profit dan menggiurkan. Meski izinnya LSM, namun praktekkan adalah kongsi dagang. Maka yang berlaku adalah zakat perdagangan. Mungkin di suatu daerah ada LSM yang punya pabrik, lahan pertanian, peternakan, bisnis jual beli, yang bersifat profit dan keuntungannya menjadi milik masing-masing pendiri atau pengurus LSM itu, bukan kembali kepada umat secara langsung, maka saat itu berlaku zakat-zakat sesuai dengan sifatnya masing-masing. Universitas Al-Azhar di Mesir pada hakikatnya adalah sebuah LSM, dan punya asset kekayaan dan profit yang teramat besar. Bahkan kekayaannya bisa digunakan untuk membantu APBN negara Mesir saat krisis ekonomi. Tetapi semua usaha milik Al-Azhar tidak ada kewajiban zakat, karena lembaga ini milik umat dan tidak dimiliki secara perorangan. Tidak ada para komisaris yang membenamkan investasi uangnya. Yang ada, investasi dalam bentuk waqaf, di mana waqifnya telah menyerahkannya kepada Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc Keuntungan terkena zakat yang lain (zakat profesi) atau tidak? Assalamu 'alaikum wr. wb. PAK Ustad, menyambung penjelasan tentang Zakat jual beli yang Bapak paparkan, di sana Bapak menjelaskan yang terkena Zakat hanya modal yang berputar setelah jatuh haul satu tahun hijriyah. Bagaimana dengan keuntungan atau laba yang diperoleh? Apakah keuntungan ini terkena bentuk zakat yang lain yaitu zakat profesi atau tidak. Atas penjelasanya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu 'alaikum wr. wb. Bwn Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pada prinsipnya, tidak ada dua kali pungutan zakat dalam satu bentuk kekayaan. Karena semua bentuk pengeluaran zakat ada ketentuan dan syaratnya. Kalau jenis kekayaan itu berupa harta perniagaan, maka yang ditetapkan dalam masalah itu adalah zakat perdagangan. Dan tidak ada lagi pungutan zakat selain itu. Kecuali harta itu kemudian berubah wujud sehingga masuk ke dalam bentuk kekayaan lainnya dan telah memenuhi syarat, maka saat itu baru ada lagi bentuk kewajiban zakat yang lain. Misalnya, keuntungan dari hasil berdagang itu dibelikan emas. Emas itu lalu disimpan, tidak dikenakan, hingga melewati satu haul (tahun qamariyah), sedangkan nilainya telah melebihi satu nishab (85 gram). Maka barulah setelah terpenuhinya syarat itu, harus ada pengeluaran zakat emas. Atau contoh lain, setelah berdagang dan mendapatkan keuntungan, uangnya dibelikan sapi untuk dijadikan peternakan. Maka bila telah melewati satu haul dan nisabnya terpenuhi, wajib ada yang dikeluarkan dari harta berupa sapi itu. Para ulama syariah telah menetapkan ketentuan bahwa dalam tiap harta yang dimiliki oleh orang tidak ada kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya, kecuali bila telah terpenuhinya beberapa syarat, antara lain: • Harta itu telah dimiliki selama setahun (zakat uang, emas, perak, perdagangan, peternakan) • Harta itu telah mencapai nisab (semua zakat) • Harta itu dimiliki secara penuh, milkut-taam (semua zakat) • Harta itu telah melebihi hajat yang paling dasar • Harta itu adalah harta yang tumbuh (an-nama') Zakat harta benda tidak dikeluarkan pada saat seseorang menerima harta itu, tetapi dikeluarkan apabila 5 syarat di atas telah terpenuhi. Apabila seseorang baru menerima harta benda, maka belum ada zakatnya, kecuali setelah dimiliki selama setahun (hawalanil haul). Sedangkan zakat profesi dikeluarkan hanya oleh mereka yang bekerja dan mendapat upah. Sedangkan pengusaha yang tidak makan gaji, tidak harus mengeluarkan zakat profesi, melainkan zakat perdagangan. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc Assalamu'alaikum wr. wb. Ustadz yang kami hormati, kami ingin sedikit menanyakan tentang kafalah/gaji untuk pengelola Lembaga Amil Zakat: 1. Boleh nggak kita memakai uang zakat untuk menggaji karyawan yang bekerja di Lembaga Amil Zakat? 2. Kalau boleh, berapa batas maksimal yang boleh kita pergunakan untuk membayar gaji karyawan tersebut? 3. Boleh nggak kita meminjamkan uang zakat, untuk membantu biaya operasi seseorang (mis. penyakit tumor) dan akan dicicil tiap bulan ke Lembaga Amil Zakat? Demikian pertanyaan dari kami, atas perhatiannya kami ucapkan jazakumullah khairan katsiro. Wassalamu'alaikum wr. wb. Syarifuddin syarif_uddin at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Di dalam Al-Quran telah ditegaskan 8 kelompok orang yang berhak menerima zakat. Salah satunya adalah amil zakat (wal 'amilina 'alaiha). إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60) Penegasan dari kitabullah ini membuat seluruh ulama berijma' bahwa amil zakat berhak menerima harta zakat dari zakat yang dikumpulkannya. Dan mereka juga sepakat bahwa semua harta zakat itu berhak dibagikan kepada 8 kelompok ini dengan jumlah sama besar. Kecuali 2 kelompok pertama dan kedua yang boleh melebihi dari yang lainnya. Maka masing-masing kelompok ini berhak atas 1/8 dari total harta zakat yang dibagikan. Termasuk di antaranya para amil zakat. Jatah mereka semua adalah 1/8 bagian, bukan jatah untuk tiap orang. Tapi seandainya dari 8 kelompok itu ada kelompok-kelompok yang kurang terwakili, mungkin karena memang tidak terdapat atau jarang terdapat, maka tidak harus dipaksakan harus menerima 1/8 bagian. Bahkan kalau memang benar-benar tidak ada, tidak perlu diberi jatah. Maka jatahnya diberikan kepada kelompok pertama dan kedua, yaitu fakir dan miskin. Meminjamkan Dana Zakat Idealya, semua harta zakat itu segera diberikan kepada para mustahiknya. Bukan disimpan dan dipendam untuk diinvestasikan. Kalau mau melakukan investasi, atau semacam usaha simpan pinjam, atau dana talangan yang bersifat tabarru', sebaiknya sejak awal dikhususkan. Misalnya dengan membuka program wakaf tunai dan sejenisnya. Sementara harta yang terkumpul dari dana zakat, alangkah baiknya bila secepatnya didistribusikan kepada yang mustahik. Jangan ditahan-tahan atau dipotong di sana sini. Pemotongan hanya boleh lewat hak para amilin saja. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. BOLEHKAH UANG ZAKAT DIPINJAMKAN PADA MUSTAHIK? Kamis, 9 Nov 06 07:50 WIB Assalamu'alaikum w.w. Taqobbal Allahu Minna wa Minkum. Ustadz, saya mau nanya: 1. Kalau kami selaku Badan Amil Zakat, terus uang dari zakat tersebut dipinjamkan ke Mustahik, salah satunya ke fakir miskin, bolehkah? Artinya, kami ingin agar memberdayakan mereka supaya mandiri. Jadi kami kasih kailnya, bukan ikannya. Pinjaman tersebut tentu saja tidak berbunga. Dan kembali berjangka. Mohon penjelasannya. 2. Seandainya boleh, terus, jika mereka tidak bisa mengembalikan uang tersebut, apakah BAZ merelakan saja uang tersebut? Mohon penjelasannya, karena kami ingin mengentaskan kemiskinan dengan pemberdayaan zakat minimal di tingkat desa/kampung dahulu. Syukron. Wassalamu'alaikum w.w. Nono Taryono nono at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebagai amil zakat, tugas utama anda dan teman-teman adalah mengumpulkan harta dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Tentu dengan memenuhi semua syarat dan aturannya. Tugas utama sebuah Badan Amil Zakat sebenarnya hanya sebatas pada lalu lintas harta saja. Paling tidak, tugas itulah yang dibebankan oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat yang diangkat menjadi petugas zakat di masa lalu. Sedangkan tugas untuk mengangkat kesejahteraan umat atau memberdayakan mereka agar mandiri, memang tugas yang mulia. Tetapi kami berpendapat bahwa tugas itu tidak harus dikerjakan oleh sebuah institusi semacam Badan Amil Zakat. Mungkin lembaga lain yang punya para ahli di bidang enterprenership serta segudang pengalaman, rasanya lebih cocok melakukan tugas itu. Sebab kami yakin bahwa tujuan anda dan teman-teman ketika memberikan fasilitas pinjaman kepada para mustahik itu adalah semata-mata untuk mendidik mereka agar bisa berusaha sendiri dan mandiri. Dan kami yakin niat anda bukan untuk berbisnis dengan uang zakat. Maka menurut hemat kami, sebelum anda meluncurkan program peminjaman itu, latih dan didik dulu mereka dengan materi serta program yang memang akan mencetak mereka bisa mandiri. Setelah dianggap mampu dan lulus, barulah modali mereka. Jangan terbalik, Badan Amil Zakat akhirnya malah sekedar melakukan aktifitas perekonomian model bank yang kerjanya memberi pinjaman. Meski tanpa bunga, tetapi tugas amil zakat bukan memberi pinjaman, melainkan menyaluran harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Idealnya menurut hemat kami, sebagai pengurus Badan Amil Zakat, anda menggandeng lembaga pendidikan yang profesional dan dianggap mampu melahirkan peserta didik yang mandiri secara ekonomi dan pandai berusaha. Tentunya harus dipilih agar mereka juga termasuk orang yang mustahik zakat juga. Kepada mereka itulah anda salurkan harta yang bersumber dari pada wajib zakat. Dan kalau peserta didik itu sudah terampil, rasanya tidak perlu lagi dipinjamkan uang, tetapi berikan saja hak mereka. Toh memang uang itu telah ditetapkan sebagai milik mereka oleh agama ini. Urusan mendidik mereka, serahkan saja pada lembaga rekanan anda. Jadi kesibukan anda bisa fokus pada managemen pengumpulan dan pendistribusian harta saja. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. Assalamu'alaikum Wr. Wb. Langsung saja ustdaz, begini saya sudah bekerja di perusahaan kontraktor asing. Dengan gaji saya ini saya bisa menafkahi kedua orang tua dan 3 adik adik saya beserta nenek saya. Kedua orang tua saya menganggur dan tidak punya tempat tinggal sehingga masih menumpang di rumah bibi saya (adik ayah saya). Sementara saya sendiri hanya tinggal di kost yang mampu di tempati untuk 2 orang saja. Dalam hal ini tiap bulan saya selalu mengirimi mereka uang untuk biaya hidup mereka semua. Yang ingin saya tanyakan bisakah hal tersebut saya niatkan sebagai zakat mal (2.5% dari penghasilan) mengingat gaji saya cukup besar dan saya yakin telah mencapai nisab. Jika tidak boleh dikategorikan zakat, uang yang tersisa hanya cukup untuk biaya hidup saya dan menabung demi masa depan saya sendiri. Lalu apakah perhitungan zakat dihitung dari gaji kotor atau gaji bersih (setelah potong pajak) atau gaji bersih setelah di potong biaya sehari-hari (termasuk untuk orang tua). Terima kasih sesudahnya. Mohon penjelasannya beserta dalil al-Quran dan hadistnya. Wassalamu'alaikum, Wawan wawan12 at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kalau kita mengacu kepada materi tentang syarat harta yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya, maka di sana kita akan dapati syarat yang sangat penting, yaitu harta itu telah melebihi kebutuhan dasar seseorang dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Selama harta yang dimiliki sesorang belum melebihi kebutuhan dasarnya itu, maka dia belum lagi dianggap sebagai orang kaya yang wajib bayar zakat. Kecuali zakat fithrah yang pada hakikatnya zakat jiwa. Sedangkan yang anda tanyakan ini adalah jenis zakat harta. Maka syarat di atas harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum harta itu wajib dikeluarkan zakatnya. Siapakah yang Wajib Ditanggung Nafkahnya? Bagi seorang laki-laki kepala keluarga, lapis pertama yang wajib dinafkahinya tentu saja isteri dan anak-anaknya. الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisa': 34) Ketika seseorang punya orang tua yang dahulu menafkahi dirinya, tetapi sekarang sudah tidak mampu lagi memberi nafkah, bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak sanggup, maka kewajiban anak untuk gantian memberi nafkah kepada orang tuanya. Ini pun hukumnya wajib bila orang tua sudah tidak mampu dan tidak punya sumber-sumber penghasilan lain. Termasuk kepada saudara dan saudarinya yang memang tidak punya sumber nafkah. Maka semua itu menjadi tanggungan bagi dirinya yang memang diluaskan rezekinya oleh Allah SWT. Bila penghasilannya habis untuk menafkahi kebutuhan dasar anak, isteri, orang tua dan saudaranya, sehingga tidak lagi bersisa, maka pada hakikatnya, tidak ada kewajiban atas dirinya untuk mengeluarkan zakat lagi. Sebab tidak ada yang lebih dari harta yang dimilikinya. Dan jangan disangka bahwa tanggungan nafkah itu sia-sia. Tidak, nafkah itu justru merupakan ibadah maliyah yang mendatangkan pahala besar. Bahkan ketika burung-burung memakan buah milik petani, itu pun di sisi Allah merupakan amal kebajibkan bagi si petani. Pendeknya, apa pun manfaat yang bisa didapat oleh makhluk-makhluk Allah dari harta seseorang, maka pahala akan mengalir kepada pemiliknya. Penghasilan Bersih atau Kotor? Memang di kalangan ulama zakat, berkembang sebuah polemik. Yaitu dari manakah kewajiban zakat itu dikeluarkan, apakah dari penghasilan kotor atau penghasilan bersih? Sebagian ulama cenderung berpendapat bahwa seharusnya sebelum digunakan untuk keperluan apapun, keluarkan dulu 2,5% untuk dizakati. Sebab zakat pada hakikatnya adalah pembersihan harta. Namun sebagian ulama lain berbeda pandangan. Menurut mereka, semua harta yang didapat dari jalan halal itu sudah pasti bersih. Karena itu kewajiban utama begitu menerima harta adalah memberikannya kepada yang wajib. Dan urutannya dari orang yang paling dekat terlebih dahulu. Dan mereka adalah anak, isteri dan orang-orang yang menjadi tanggungan. Barulah setelah itu kepada orang lain yang lebih jauh hubungannya. Sedangkan yang namanya zakat itu diserahkan kepada amil zakat, tentu distribusinya kepada orang yang lebih jauh. Dan tidak mungkin mendahulukan orang lain sementara diri sendiri dan orang-orang yang berada dalam tanggungan malah sangat membutuhkan. Sebenarnya kedua pemikiran ulama ini masing-masing ada benarnya. Selama diterapkan pada kasus yang tepat untuk masing-masing. Dan oleh karena jawaban yang benar adalah ketika diterapkan pada kasus yang tepat. Salah satu pendekatannya adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh pakar zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok. Misalnya seseorang bergaji 200 juta setahun, sedangkan kebutuhan pokok anda perbulannya sekitar 2 juta atau setahun 24 juta. Maka ketika menghitung pengeluaran zakat, hendaknya dari penghasilan kotor itu dikalikan 2,5%. Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila anda termasuk orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun anda diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan anda itu jumlahnya mencapai nisab dalam setahun (Rp 1.300.000,-), barulah anda wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari penghasilan bersih itu. Nampaknya jalan tengah yang diambil Al-Qaradhawi ini lumayan bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Dan masing-masing akan merasakan keadilan dalam syariat Islam. Yang penghasilan pas-pasan, membayar zakatnya tidak terlalu besr. Dan yang penghasilannya besar, wajar bila membayar zakat lebih besar, toh semuanya akan kembali. Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya. Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. Assalamualaikum Wr. Wb. Bolehkah zakat harta dititipkan kepada sebuah yayasan yang bergerak di bidang anti pemurtadan, uang zakat tersebut akan di belikan Al-Quran dan tafsir untuk dibagikan kepada muslim di daerah pemurtadan tersebut? Fajar hp7986 at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yayasan yang bergerak di bidang anti pemurtadan adalah yayasan yang wajib dibantu, baik dengan tenaga maupun dengan dana. Kita wajib memberikan apa yang diperlukan oleh yayasan seperti ini, mengingat jasanya yang besar dalam mempertahankan benteng keimanan. Dan sebenarnya sumber dana umat itu bukan hanya dari zakat semata. Masih banyak sumber dana lain yang selain zakat yang bisa dicari agar kegiatan pencegahan kemurtadan bisa dipertahankan. Sedangkan dana zakat, karena sudah secara spesifik ditetapkan peruntukannya, tentunya kita tidak bisa main potong kompas begitu saja. Bisa-bisa zakat kita malah tidak sah jadinya. Kami menyarankan sebaiknya anda mengusahakan dana dari pos-pos yang lain selain zakat, bila tujuannya untuk membagikan mushaf. Tetapi kalau para ulama tempat di mana proses pemurtadan terjadi melihat bahwa mereka termasuk orang yang dipertahankan keimanannya, sehingga bisa dimasukkan sebagai kelompok al-muallafati qulubuhum, mungkin bisa saja diijtihadkan ke sana. Namun ijtihad seperti itu harus hati-hati, sebab targetnya harus tepat benar, yaitu mempertahankan keIslaman mereka. Bukan sekedar bagi-bagi mushaf. Malah ada baiknya bila diserahkan dalam bentuk uang tunai saja, karena akan lebih bermanfaat dan berdaya guna. Namun sekali lagi, perlu adanya analisa dan kajian yang matang dan melibatkan para ulama di daerah tersebut. Sehingga segala sesuatunya sudah dipertimbangkan masak-masak, dari semua sisi. Apalagi kalau kebetulan mereka yang sedang dipertahankan keimananya termasuk juga orang yang fakir dan miskin, tentu lebih afdhal lagi. Sebab kalau pun kurang tepat dikatakan sebagai muallaf, maka mereka tetap berhak sebagai fakir dan miskin. Intinya, kami tidak menutup kemungkinan 100% untuk mengalokasikan dana zakat kepada mereka, namun perlu kajian mendalam melibatkan para ulama dan cendekia, agar langkah-langkah kebijakan itu punya sumber kekuatan hukum yang mantap. Tidak cukup hanya dengan berdasarkan jawaban sekilas seperti di forum tanya jawab ini saja. WAllahu a'lam bisshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. Assalamualaikum warahmatullah, Bapak Ustadz yang terhormat, Beberapa waktu yang lalu saya terlibat pembicaraan bersama dengan beberapa rekan-rekan di musholla dekat tempat tinggal saya. Masalah yang dibahas adalah kapan waktunya bagi para panitia zakat fitrah untuk membagikan zakatnya kepada yang berhak. Dari pembicaraan itu disimpulkan bahwa waktu terbaik untuk pemberian zakat ini oleh panitia zakat adalah setelah subuh 1 Syawal sebelum sholat Ied. Ini sesuai dengan sebuah hadits Rasulullahyg tertera pada kitab Shahih Bukhari bab zakat fitrah. Permasalahannya adalah, di banyak tempat panitia zakat tidak punya banyak waktu untuk membagikan zakat sebelum sholat Ied di hari 1 Syawal karena kebanyakan sholat Ied di Indonesia dilakukan sekitar pukul 7 pagi. Sehingga tidak ada waktu bagi panitia membayar pada waktu pagi menjelang ied tersebut. Walau sholat ied itu sendiri bisa diundur sampai pukul 8 atau 9 selagi itu waktu dhuha. Pertanyaannya adalah: 1. Apa betul zakat fitrah itu harus diserahkan hanya antara waktu subuh dan sebelum sholat Ied pada 1 Syawal? 2. Kebanyakan pembayar zakat fitrah membayar zakatnya ke panitia jauh-jauh hari sebelumnya. Menjadi tanggung jawab panitia zakatkah atau pembayar zakat, jika zakat fitrah itu tidak dibayar pada waktu di atas? 3. Sampai jam berapa sebenarnya batasan waktu sholat Ied itu? Jazakallah khair..... Zaliansyah Yahya zaliansyah at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Hadits yang anda maksud barangkali adalah hadits berikut ini: عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِمُتَّفَقٌ عَلَيْه Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithr sebesar 1 sha' kurma atau 1 sha' tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq 'alaihi) Dengan berdasarkan hadits ini, memang benar sebaiknya zakat fithr itu diberikan sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan. Sebab tujuannya adalah agar fakir miskin pada hari raya itu tidak kelaparan. Kalau diberikan jauh sebelum waktunya, mungkin dikhawatirkan kehilangan momentumnya. Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa waktu untuk mengeluarkan zakat fithr bukan hanya boleh sebelum shalat Idul Fithri. Waktu itu hanya yang paling afdhal, tetapi tidak melarang bila diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fitri. Juga boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan. Kalau membagikan zakat fithr di pagi hari sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan dirasa sulit, karena berbagai pertimbangan dan faktor, boleh saja dilakukan pada malam harinya. Atau boleh dua tiga hari sebelumnya. Kecuali anda punya team amil zakat yang solid dan bisa bekerja cepat sejak selesai shubuh hingga menjelang jam pelaksanaan shalat Ied. Yang pasti teamnya harus banyak, karena kalau terlambat akan sia-sia. Atau bisa juga disiasati agar para mustahik zakat mengambil haknya di tempat pelaksanaan shalat dan waktunya sebelum shalat dimulai. Sehingga baik panitia shalat maupun para mustahik zakat sudah berdatangan sejak shubuh untuk pendistribusian. Akan tetapi cara seperti ini barangkali masih terasa aneh dan kurang populer. Kalau tidak terbiasa, pasti merepotkan. Misalnya, kalau seorang mustahiq menerima beras sebelum shalat dimulai, maka selama shalat dan mendengarkan khutbah, dia harus membawa-bawa beras ke sana ke mari. Kalau diantar ke rumah masing-masing, bisa jadi mustahik zakatnya tidak ada di rumah, karena sudah pergi untuk shalat Ied. Maka kalau mau diberikan setelah shubuh dan sebelum shalat Ied, perlu dipikirkan teknis pendistribusiannya yang paling efektif, cepat dan tepat. Jangan ditanya bagaimana dengan yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Sebab penduduk Madinah di masa itu hanya sedikit. Konon menurut para ahli sejarah, luas kota Madinah di masa itu hanya seluas masjid Nabawi di hari ini. Maka mendistribusikan zakat ke sebuah wilayah yang hanya seluas masjid Nabawi, pasti tidak terlalu sulit. Sedangkan di masa sekarang ini, terkadang coverage area distribusi zakat bisa sangat luas dan kompleks, sehingga membutuhkan trik khusus agar bisa tepat sampai sasaran pada waktunya. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu a'alikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. BAYAR PAJAK, TERMASUK SODAQOH ATAU INFAQ? Senin, 16 Jan 06 15:54 WIB Assalamu'alaikum w.w. Pak Ustdaz, hampir setiap pendapatan kita dan pembelian barang di pasar dikenakan pajak. Jika yang beragama Islam, pajak itu termasuk katagori mana? Sodaqohkah atau Infaq. Atas jawaban Pak Ustadz, saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu'alaikum w.w. Nono Taryono Nono Taryono nono at eramuslim.com Jawaban Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Membayar pajak bagi seorang muslim pada dasarnya bukan termasuk sedekah atau infaq. Sebab sedekah atau infaq secara pengertian yang lazimnya kita pahami, hukumnya ibadah maliyah yang sunnah, bukan kewajiban. Sedangkan membayar pajak hukumnya wajib. Paling tidak menurut undang-undang dan hukum negara. Uang pajak dari rakyat itu dialokasikan bukan hanya untuk fakir miskin, melainkan untuk membiayai penyelenggaraan negara. Bahkan terkadang juga untuk dikorupsi oleh para pejabat, atau membiayai perjalanan dinas para pejabat itu, termasuk juga untuk biaya mereka jalan-jalan ke luar negeri. Tetapi pendeknya, penerimaan pajak itu untuk kepentingan penyelenggaraan negara, bukan sebagaimana umumnya pengertian infaq yang diperuntukkan umumnya buat fakir miskin dan orang yang susah. Adapun hukum membayar pajak bagi seorang muslim, kalau kita kembalikan kepada hukum dasarnya, maka hukumnya wajib. Meski bukan termasuk kewajiban diniyah. Kewajiban membayar pajak kira-kira sama dengan kewajiban sosial ekonomi lainnya, seperti kalau kita naik bus, harus bayar. Juga kita harus bayar rekening listrik, telepon, air dan lainnya. Memang idealnya negara tidak diselenggarakan hanya semata-mata berdasarkan penerimaan pajak. Sebab bumi dan kekayaan alam lainnya sepenuhnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Kalau hasil bumi itu benar-benar dikelola secara profesional dan amanah oleh para penyelenggara negara, seharusnya tidak lagi dibutuhkan pajak dari rakyat. Sayangnya, nyaris semua negeri Islam tidak mampu mengolah sendiri kekayaan alam serta potensi-potensi besar lainnya. Sehingga negara diselenggarakan hanya dari pajak saja. Itupun seringkali habis dimakan oleh pejabatnya yang tidak kapok-kapoknya bikin dosa. Maka amat wajar bila di mana-mana rakyat seringkali mengeluh bila diminta membayar pajak. Sudah jatuh ketiban tangga pula. Sudah miskin, wajib bayar pajak, tapi uang pajaknya dikorupsi pula. Itulah yang telah terjadi di banyak negeri muslim. Sehingga seringkali kita dengar keengganan mereka membayar pajak. Bukan karena pelit, melainkan karena ingin memberikan pelajaran kepada pemerintahnya, agar tidak main-main dengan uang rakyat. Tetapi bukan pemerintah kalau tidak pintar. Mereka kemudian mengutip pajak dari semua sisi kehidupan, bahkan meski rakyat tidak merasakan langsung. Setiap jual beli dan transaksi bahkan setiap barang yang kita pakai, sudah dikenakan pajak. Kendaraan bermotor misalnya, adalah barang yang selalu kita bayar pajaknya. Menginap di hotel, kena pajak. Makan di rumah makan, kena pajak. Beli komputer, kena pajak, bahkan memarkir kendaraan pun kena pajak. Suatu hari nanti, bernafas pun kena pajak. Kalau sudah demikian, maka tidak ada tempat buat rakyat untuk menghindar dari pajak. Sebab pajak ada di mana-mana, mau lari kemana pun pasti kena pajak. Mungkin justru orang-orang kaya dan penguasaha yang justru mampu mempermainkan petugas pajak, sehingga pajak yang disetor bisa jauh di bawah angka yang seharusnya. Dan ini bukan rahasia lagi. Karena itulah banyak petugas pajak yang mendadak kaya raya. Bahkan saking bobroknya, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya agar nanti bisa kerja di Pajak. Selain sekolahnya gratis, bisa cepat kaya. Tapi bagaimana masalah hukumnya? Istifti qalbaka : Bertanyalah kepada nurani yang paling dalam.... Wallahu a'lam bishshawab.Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc Assalamualaikum wr. wb. Langsung saja, saya ingin menanyakan kepada ustadz apakah perbedaan sedekah dan wakaf. Apakah wakaf itu dan bagaimana landasan hukumnya. Dan bolehkah harta wakaf itu dijual atau diwariskan atau dipindahkan ke tempat lain? Terima kasih atas jawabannya. Suherman cendrawasih at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pengertian Waqaf Waqaf itu sejenis ibadah maliyah yang speksifik. Asal katanya dari kata wa-qa-fa (وقف) yang artinya tetap atau diam. Maksudnya adalah bahwa seseorang menyerahkan harta yang tetap ada terus wujudnya namun selalu memberikan manfaat dari waktu ke waktu tanpa kehilangan benda aslinya. Wakaf berbeda dengan sedekah biasa. Kalau sedekah biasa, begitu seseorang memberikan hartanya, maka biasanya harta itu langsung habis manfaatnya saat itu juga. Misalnya, seseorang bersedekah memberikan 10 orang miskin makan siang. Begitu makanan sudah dilahap, maka orang itu dapat pahala. Tapi tidak ada pahala lainnya setelah itu, sebab pokok sedekah itu sudah selesai manfaatnya. Sedangkan dalam wakaf, seseorang bersedekah dengan harta yang pokoknya tetap ada, namun harta itu bisa menghasilkan pemasukan atau penghasilan yang bersifat terus menerus dan juga rutin. Misalnya seseorang mewakafkan seekor sapi untuk fakir miskin. Sapi itu tidak disembelih untuk dimakan dagingnya, melainkan dipelihara oleh orang yang ahli dalam pekerjaannya. Yang diambil manfaatnya adalah susunya yang diperah. Susu itu misalnya boleh dibagikan kepada fakir miskin, atau dijual yang hasilnya untuk kaum fakir miskin. Contoh lain seseorang mewakafkah sebidang sawah untuk ditanami. Sawah itu diserahkan kepada orang yang amanah untuk menanaminya, di mana hasilnya diperuntukkan khusus untuk anak-anak yatim. Contoh lain, seseorang mewakafkan sebuah sahamnya perusahaan. Semua deviden (bagi hasil) yang didapatnya akan diserahkan kepada masyarakat miskin untuk bea siswa pendidikan. Masyru'iyah Waqaf Bentuk sedekah model wakaf ini sudah dicontohkan sejak zaman nabi dan para shahabat. Salah satunya adalah apa yang diwakafkan oleh sayyidina Umar bin Al-Khattab ra., sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini. عبد الله بن عمر, قال: { أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال: يا رسول الله, إني أصبت أرضا بخيبر, لم أصب قط مالا أنفس عندي منه, فما تأمرني فيها ؟ فقال: إن شئت حبست أصلها, وتصدقت بها, غير أنه لا يباع أصلها, ولا يبتاع, ولا يوهب, ولا يورث. قال: فتصدق بها عمر في الفقراء, وذوي القربى, والرقاب, وابن السبيل, والضيف, لا جناح على من وليها أن يأكل منها, أو يطعم صديقا بالمعروف, غير متأثل فيه, أو غير متمول فيه } متفق عليه Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Umar bin al-Khattab mendapat sebidang tanah di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau, "Ya Rasulallah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan untukku dalam masalah harta ini?" Maka Rasulullah SAW berkata, "Bila kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan diwariskan." Maka Umar ra. bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan... (HR. Muttafaq 'alaihi) Pohon kurma itu bersifat tetap, yakni ada terus dan tidak ditebang. Pohon-pohon itu adalah pokok yang terus dipelihara dan dirawat. Yang dimanfaatkan adalah hasil atau manfaatnya yang diniatkan oleh beliau sebagai sedekah rutin kepada fakir miskin. Kepemilikan Harta yang sudah diwakafkan sebenarnya statusnya sama dengan semua pemberian lainnya, yaitu si pemberi sudah tidak lagi punya hak atas apapun atas harta itu. Namun hal itu tergantung akadnya. Bisa saja akad sebuah waqaf itu hanya pada manfaatnya, sedangkan kepemilikan benda itu tetap masih ada dimiliki oelh si empunya. Contohnya adalah seekor kambing yang diwakafkan susunya. Kambing itu tetap miliknya namun bila ada susu yang diperas, maka misalnya menjadi hak fakir miskin. Akad seperti itu pun bisa dibenarkan. Begitu juga tentang penerima wakaf itu, bisa dikhususkan kepada orang tertentu saja tetapi bisa saja umum. Misalnya, tanah yang diwakafkan untuk kuburan keluarga dan ahli warisnya. Sedangkan untuk masjid biasanya manfatnya untuk seluruh umat Islam, tidak hanya khusus kelurga. Jadi wakaf itu memang bisa juga hanya diperuntukkan kepada kalangan tertentu saja sebagaimana amanat yang memberi wakaf. Satu hal lagi yang penting adalah bahwa harta yang sudah diwaqafkan itu tidak boleh diwariskan. Karena bila sejak awal kepemilikannya memang sudah dilepas, para ahli waris tidak berhak mengaku-ngaku sebagai pemilik. Para ahli waris ini sama sekali tidak punya hak apalagi kewajiban untuk mengelola sebuah harta wakaf bila memang tidak diserahkan oleh si pemberi wakaf. Yang berhak dan berkewajiban adalah nazir wakaf itu. Dan dalam hukum di negeri ini, penunjukan nazir wakaf itu dikuatkan dengan sebuah akte wakaf. Bahkan bila berbentuk sebidang tanah, yang lebih kuat adalah sertifikat wakaf. Namun nazir bukanlah pemilik, sehingga tidak berhak menjualnya, menyewakannya atau pun memanfaatkannya bila tidak sesuai dengan amanah yang diberikan. Kewajiban keluarga dan juga semua lapisan masyarakat adalah mengingatkan nazir agar menjalankan amanat sesuai apa yang diminta oleh pemberi wakaf. Sebab bila dia khianat, maka dia pasti berdosa dan diancam oleh Allah SWT. Pemindahan Waqaf Sebagian dari ulama membolehkan menjual harta wakaf yang memang sudah tidak bermanfaat lagi untuk dibelikan barang yang sama di tempat lain. Misalnya bila sebuah masjid terkena gusur proyek pemerintah, tanahnya boleh dijual namun wajib dibangunkan masjid lagi di tempat lain. Sedangkan merubah manfaat harta wakaf bukanlah hal yang disepakati oleh kebanyakan ulama. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. h.shaheed@gmail.com Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz yang dirohmati Alloh swt., Sekarang ini untuk membayar zakat sangat mudah sekali yaitu via transfer ke rekening amil zakat yang dipercaya. Namun apakah sah penyerahan zakat tersebut meski tanpa ijab qobul antara muzakki dan amilnya? Masalahnya saya dengar dari ustadz di tempat tinggal saya bahwa salah satu syarat sahnya zakat adalah harus ada ijab qobul. Bagaimana mungkin kita bisa ijab qobul dengan hanya sekedar transfer uang ke rekening? Terima kasih atas penjelasannya. Jajang jajang at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kewajiban adanya ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Tidak benar bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, lalu zakat itu menjadi tidak syah. Yang benar bahwa penyerahan harta zakat itu perlu ditegaskan untuk membebaskan pemberi zakat dari kewajiban berzakat. Di masa lalu ketika syariat zakat masih lengkap dengan amil zakat yang berkeliling memungut dari orang kaya, penyerahan itu disertai dengan ikrar yang salah satu fungsinya semacam tanda terima. Bahkan si fulan sudah menyerahkan zakatnya, sehingga petugas zakat yang lain tidak perlu lagi menagihnya. Petugas zakat datang menagih? Ya, benar, zakat itu adalah kewajiban yang secara khusus dikemas dengan konsep petugas zakat berkeliling untuk memungut dan menagihnya dari pada wajib zakat. Itulah yang telah ditetapkan di dalam Al-Quran, dan itu pula yang dicontohkan di masa Rasulullah SAW dan para salafunas-shalih. Dalam rangka penagihan itulah, ada semacam serah terima yang berfungsi sebagai tanda seseorang telah menunaikan zakatnya. Sehingga dia bebas dari tagihan hingga setahun ke depan. Bagaimana dengan pembayaran zakat di masa sekarang? Dengan tidak adanya pemerintahan Islam, zakat di masa sekarang ini dijalankan dengan apa adanya. Sangat tidak efektif dan sangat kurang manfaatnya. Sebab tidak ada petugas resmi zakat yang punya mandat resmi dari negara untuk menagih zakat. Para petugas zakat cenderung hanya bisa membuat proposal dan mengemis-ngemis zakat dari kantor ke kantor. Kalau ada yang sadar mau bayar zakat, mereka akan berterima kasih. Tapi kalau tidak ada yang mau bayar zakat, mereka hanya bisa pulang dengan tangan hampa. 180 derajat berbeda dengan apa yang terjadi di masa nabi dan para shahabat. Petugas zakat yang pulang dengan tangan hampa, bisa mengakibatkan terjadinya perang atas suatu kaum yang menolak bayar zakat. Itulah yang terjadi di masa khalifah Abu Bakar As-Shiddih ra. Beliau secara tegas memerangi orang yang menolak petugas zakat. Tidak mau bayar zakat? Siap-siap diperangi oleh negara. Karena itu, akad penyerahan zakat menjadi bermakna di masa itu. Dengan adanya akad itu, maka menjadi jelas siapa saja yang sudah bayar zakat dan siapa yang belum bayar. Bahkan siapa yang menolak bayar zakat. Adapun di masa sekarang ini, akad atau ijab kabul tidak lagi punya fungsi utama. Selain sekedar simbolis dan seremonial belaka. Sama sekali tidak ada pengaruhnya pada masalah sah atau tidak sahnya penyerahan zakat. Bayar Zakat Lewat Transfer Semakin modern-nya gaya hidup, semakin memudahkan. Salah satunya dengan dibukanya account khusus untuk menerima zakat yang dilakukan oleh lembaga amil zakat. Biasanya, rekening itu didesain secara khusus hanya untuk menerima harta zakat. Dibedakan dengan rekening untuk infak lainnya seperti untuk anak yatim, atau pembangunan masjid. Maka orang yang memanfaatkan transfer langsung lewat ATM atau bank, biasanya sudah tahu dengan pasti, berapa besar kewajiban zakat yang wajib dikeluarkan. Dia juga sudah tahu dengan tepat bahwa rekening itu memang untuk menyalurkan harta zakat. Walhasil, tidak ada yang salah dengan sistem ini. Sebab pihak lembaga juga sejak awal sudah mensosialisasikan dengan cermat bahwa nomor rekening tersebut memang semata-mata untuk pengaluran harta zakat. Bukan untuk sedekah atau infaq lainnya. Adapun ijab kabul dengan muka ketemu muka, memang sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab sistem ini sudah bisa menggantikan fungsi tersebut. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by phone. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi. Wallahu a'lam bishashawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. DANA ZAKAT UNTUK KEGIATAN DAKWAH Jumat, 7 Jul 06 09:13 WIB Assalamu'alaikum Ustadz, saya ingin menanyakan tentang zakat, bolehkah kita menggunakan dana zakat untuk kegiatan dakwah berdasar pada makna/tafsir "fi sabilillah" dalam surat At-Taubah ayat 60? Jazakalloh atas penjelasannya. Wassalamu'alaikum Maulana maulana at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Masalah yang anda tanyakan adalah masalah yang selalu mengundang beda pendapat di kalangan ulama. Mereka terbagi menjadi dua, yaitu kalangan yang tetap mempertahankan makna fi sabilillah adalah perang secara fisik, yang satunya lagi ingin meluaskan makna itu hingga kepada segala bentuk perjuangan di luar perang fisik, yang penting proyek itu proyek kebaikan umum di jalan Allah. Kalangan yang Membatasi Umumnya ulama memang membatasi makna fi sabilillah hanya untuk para mujahidin yang ikut perang atau jihad. Di antaranya adalah keempat mazhab dalam fiqih Islam masing-masing telah mengeluarkan pernyataan mereka tentang makna fi sabilillah. Meski di sana sini ada variasi pendapat, namun ada garis tegas yang mereka sepakati, yaitu: 1. Bahwa jihad atau peperangan secara fisik adalah makna utama dari istilah fi sabilillah. 2. Bahwa jatah fi sabilillah itu diberikan langsung kepada masing-masing mujahidin sebagai pendapatan mereka. Sedangkan bila diserahkan kepada lembaga atau institusi, masing terdapat perbedaan pendapat. 3. Bahwa harta zakat fi sabililah tidak boleh dikeluarkan untuk hal-hal di luar jihad, seperti proyek-proyek kebaikan, kepentingan publik, seperti mendirikan masjid atau madrasah, membangun jembatan, perbaikan jalan, memberi kafan kepada mayit, serta yang sejenisnya. Khusus yang nomor tiga di atas, hal itu dikarenakan bahwa semua proyek kebaikan itu sudah punya sumber tersendiri dari baitul mal muslimin. Selain itu, anggaran untuk proyek kebaikan seperti ini tidak menjadi hak milik perorangan, padahal yang disayratkan para ulama adalah bahwa harta itu diberikan kepada perorangan dari masing-masing mujahidin sebagai pendapatan. Mereka yang Meluaskan Makna Adapun di antara mereka yang meluaskan makna fi sabilillah, di antaranya adalah Al-Kasani, sebagaimana tertulis di dalam kitab Al-Badai'. Beliau berpendapat bahwa dibolehkan jatah untuk fi sabilillah untuk semua jenis proyek ketaatan dan al-qurb Al-Imam Ar-Razi dalam tafsir menyatakan bahwa makna kata fi sabilillah tidak hanya terbatas pada perang atau jihad saja, namun termasuk semua hal yang bermakna di jalan Allah. Sehingga termasuk di dalamnya pembuatan masjid, membangun benteng, memberi kafan kepada mayit dan lainnya. (lihat tasfir Al-Fakhrurazi jilid 16 halaman 113). Yang senada dengan pendapat ini adalah kalangan Imamiyah Ja'fariyah. Disebutkan dalam kitab Al-Mukhtashar An-Nafi' halaman 59, bahwa termasuk fi sabilillah adalah semua hal yang mengandung mashlahat seperti haji, jihad, membangun jembatan. Kesimpulan: Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak mungkin dihilangkan, sehingga buat kita yang terpenting adala membuka diri dan wawasan untuk tidak terjebak dengan perbedaan ini. Sesungguhnya perbedaan ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, bukan tugas kita untuk menyerang satu pendapat demi membela pendapat yang lain. Sangat boleh jadi kita akan bertemu dengan masing-masing elemen umat Islam yang mendukung salah satunya. Kepada masing-masing mereka, tentu kita sudah paham alur berpikir dan mazhabnya, sehingga kita bisa tetap saling bersaudara, bekerjasama, saling bela, saling tolong, terutama dalam hal-hal yang kita sepakati. Di sisi lain kita saling memaklumi apabila ada titik-titik perbedaan yang sulit dihindari. Sebab perbedaan pendapat itu boleh berujung kepada caci maki dan sok benar sendiri. Perbedaan pendapat itu justru untuk kita pelajari, kita pahami dan kita banggakan sebagai poin yang memperkaya khzanah ilmu-ilmu keIslaman. Wallahu a'lam bishshwab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. Zakat Mal Dibayarkan Setiap Tahun? Ass. Wr. Wb. Pak Ustaz, apakah zakat mal untuk harta yang jumlahnya tetap, dibayarkan setiap tahun atau hanya sekali saja? Contohnya: - Uang yang disimpan di bank dengan jumlah tetap (katakanlah 100 juta) dan mengendap katakanlah selama 5 tahun, apakah zakat yang 2.5% dibayarkan setiap tahun sebesar 2.5 Juta atau hanya sekali saja di tahun kedua? - Rumah yang disewakan, apakah setiap tahun dibayarkan zakatnya sebesar 2.5% dari harga rumah atau dari uang sewa? Terima kasih, Wass., Ayit ayit at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebenarnya istilah zakat mal lebih luas dari sekedar zakat atas uang yang disimpan. Termasuk di dalam zakat mal misalnya zakat perdagangan, zakat emas atau perak, zakat hasil pertanian, zakat peternakan, zakat profesi, zakat investasidan sebagainya. Para ulama dengan ijtihad mereka telah membuat bentuk perhitungan atas masing-masing jenis zakat tersebut, sesuai dengan dalil-dalil yang mereka temui di dalam Al-quran dan sunnah nabawiyah. Zakat Uang yang Diendapkan Ketentuan zakat uang yang diendapkan adalah: 1. Sudah mencapai atau melebihi nishab, yaitu seharga 85 gr emas atau 595 gr perak. 2. Sudah dimiliki dengan jumlah satu nishab itu selama 1 haul (setelah dimiliki selama 1 tahun qamariyah, meski ditengahnya pernah berkurang). 3. Dikeluarkan 2,5% dari total nilai harga tersebut, bukan dari nishabnya. 4. Dikeluarkan akhir tahun kepemilikan. Dengan mengacu pada ketentuan di atas, maka misalnya anda punya uang 100 juta sejak tanggal 1 Ramadhan 1427 Hijriyah, maka kewajiban membayar zakatnya adalah para tanggal 1 Ramadhan 1428 H, sebesar 2,5% dari 100 juta. Atau sebesar Rp 2,5 juta. Berarti uang di bank tinggal 97,5 juta. Bila padatanggal 1 Ramadhan 1429 H uang dibank itu masih sejumlah Rp 97,5 juta, maka kena zakat lagi sebesar 2,5% dari 97,5 juta. Dan demikian seterusnya. Tetapi anda mengatakan bahwa uang itu disimpan di bank. Ada dua kemungkinan, bank itu konvensional atau bank itu syariah. Kalau di bank konvensional, sudah pasti rugi. Sebab uangnya tidak bertambah dengan halal. Bunga bank itu haram hukumnya dan bukan hak nasabah. Haram juga hukumnya bayar zakat dengan uang hasil riba/bunga bank. Di situlah ruginya menyimpang uang di bank konvensional bagi seorang muslim. Setiap tahun kena zakat, sementara bunganya haram tidak boleh digunakan untuk pribadi, apalagi untuk membayarkan zakatnya. Sedangkan bila disimpan di bank syariah, ada bagi hasil yang kalau dihitung-hitung, setara niainya dengan bunga bank. Katakanlah senilai dengan 7 atau 8 persen pertahun. Dibandingkan dengan kewajiban untuk mengeluarkan zakat yang hanya 2,5% per tahun, maka simpanan uang di bank syariah tidak akan berkurang, bahkan masih tetap akan terus bertambah. Bahkan pihak bank syariah bisa saja secara otomatis sudah memotong uang simpanan nasabah untuk zakat, sehingga nasabah sudah tidak perlu pusing-pusing menghitung-hitung nilai zakat yang harus dikeluarkan. Rumah yang Disewakan Umumnya para ulama sepakat bahwa rumah bukan termasuk jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sebab rumah itu merupakan jenis harta yang tidak mengalami an-numuw (pertumbuhan). Seperti juga sebidang tanah yang kosong dan didiamkan saja tanpa ditanami apapun. Dan juga kendaraan yang dimiliki selama tidak memberikan pemasukan. Apabila aset-aset seperti rumah, tanah atau kendaraan itu dijadikan harta yang bersifat an-numuw, yaitu tumbuh menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya, barulah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Misalnya, rumah itu disewakan kepada pihak lain. Sehingga pemilik ruma itu bisa mendapat harta dari hasil penyewaannya, maka setiap kali 'memanen' hasil, ada kewajiban zakat yang harus dikeluarkan. Maksudnya, setiap kali menerima uang sewa rumah, ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Zakatnya dikeluarkan bukan dari nilai total harga aset rumah itu, melainkan khusus dari hasil penyewaannya. Tidak ada hubungannya antara nilai total aset rumah dengan harga sewa. Dikeluarkannya zakat itu juga tidak berdasarkan hitungan tahunan, melainkan berdasarkan waktu 'memanen' hasil sewa. Karena zakat ini lebih banyak diqiyaskan kepada zakat pertanian. Baik dari segi nishabnya yang sebesar 5 wasaq = 653 kg gabah = 520 kg beras, maupun waktu untuk mengeluarkan zakatnya yang setiap kali memanen hasil, termasuk juga besarnya prosentase yang harus dikeluarkan sebagai zakat, yaitu sebesar 5% atau 10%. 5% dari hasil bersih 10% dari hasil kotor. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. USTADZ KELILING MEMINTA ZAKAT UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI Kamis, 12 Okt 06 08:47 WIB Assalam' mualikum wr. wb. Pak ustadz, saya mau menanyakan mengenai penarikan zakat. Suatu hari saya dikunjungi salah satu ustadz di tempat saya tinggal, dan beliau meminta zakat ke saya. Saya balik tanya ke mana zakat tersebut akan disalurkan? Beliau menjawab untuk dirinya sendiri dan dia mengatakan bahwa di daerah tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan, setiap ustadz/ ustadzah untuk keliling dan meminta zakat untuk kepentingan pribadi. Menurut pandangan saya ustad tersebut tergolong mampu. Yang menjadi kekhwatiran saya nanti ke depanya hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan dan tidak melihat tergolong mampu atau tidak. Saya mohon jawaban dari pak ustadz bagaimana pandangan tersebut? Wassalam' mualaikum wr. wb. Tarmidi tarmidi181 at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebenarnya kalau si ustadz ini mau, dia tetap berhak atas harta yang tidak seberapa itu. Sayangnya, sistem baitul-mal di tengah kediaman anda kurang berjalan dengan baik, sehingga seorang ustadz terpaksa harus 'mengemis' ke sana ke mari dari masyarakat. Adalah hak seorang ustadz atau guru ngaji untuk mendapatkan nafkah. Bahkan lebih banyak dari yang umumnya diterima orang lain. Sebab tugas seorang ustadz tentu saja sangat berat dan perannya pasti sangat besar. Bukankah seorang ustadz itu akan mengajarkan masyarakat tentang jalan hidup yang lurus, serta memberikan bekal dalam menempuh jalan akhirat nanti, mengajak kepada kebaikan dan menolak kemungkaran? Bukankah anak-anak kita bisa mengaji dan membaca Quran karena jasa-jasanya? Bukankah anak-anak kita bisa mempraktekkan shalat dan ibadah lainnya lewat penjelasannya? Maka seorang ustadz yang mengajarkan hal itu semua, tentu sangat layak untuk menerima upah atas upayanya. Di masa nabi, ketika ada orang kafir yang jadi tawanan perang bisa mengajari 10 orang membaca dan menulis, dia mendapat hak kebebasannya. Pada harga tawanan perang itu pasti sangat tinggi, paling tidak seharga budak. Dan harga budak bisa berkali lipat dari harga seekor unta. Kalau kita anggap harga budak 10 kali harga unta, maka bisa kita bayangkan nilai mengajarkan 10 orang untuk membaca dan menulis. Sementara yang diajarkan oleh ustadz dan guru ngaji bukan sekedar baca tulis, tapi membaca Quran kalam ilahi, isinya ajaran agama, pesan nabi, isi kitab suci, aturan hukum syariah serta motivasi untuk menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam, sudah sangat layak bila pak ustadz menerima fee yang cukup besar dari masyarakat. Namun karena sistem baitul-mal di masyarakat mungkin kurang sehat, akibatnya tidak ada alokasi dana untuk pak ustadz, maka jadilah pak ustadz ini berkeliling 'mengemis' minta uang kepada khalayak. Sungguh memalukan dan kurang punya adab. Apalagi yang dimintanya atas nama zakat, ini lebih buruk lagi. Sebab dari surat At-Taubah ayat 60 sudah sangat jelas bahwa zakat itu hanya boleh diberikan kepada 8 ashnaf saja. Dan tidak ada bagian untuk seorang ustadz. Artinya, kalau pun ada dana untuk ustadz, sumbernya bukan dari dana zakat, tetapi dari dana yang lain, yang boleh jadi lebih besar dan lebih menjamin hidup. Selayaknya, seorang ustadz itu dijamin hidupnya oleh negara. Sebab menjalankan dan menyelenggarakan kehidupan beragama itu adalah salah satu tugas negara. Di beberapa negara muslim, para ustadz dan imam masjid digaji bulanan oleh negara. Dengan demikian, mereka tidk perlu menadahkan tangan kepada objek dakwahnya. Di negeri kita, negara sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu, sebab negara ini memang tidak mau mengurusi masalah agama, kecuali yang kira-kira ada uangnya. Misalnya, penyelenggaraan haji atau memunguti zakat (baziz). Kalau kedua bidang ini, rasanya negara merasa paling berhak untuk mengurusinya. Sedangkan nasib guru ngaji di kampung-kampung yang perannya tidak tergantikan oleh siapa pun, tak seorang pun yang peduli. Negara tidak peduli bahkan ormas dan orsospol berabel Islam pun juga sangat tidak peduli. Maka para guru ngaji itu lagi-lagi menadahkan tangannya kepada jamaah pengajiannya. Dan hebatnya, semua itu tetap berlangsung sampai sekarang. Tiap datang mengaji, ada saja jamaah pengajian yang melakukan 'salam tempel', yaitu bersalaman sambil menyelipkan uang recehan ribuan perak. Dari situlah para pahlawan Al-Quran hidup, dan dari hasil 'salam tempel' itu pula dapurnya bisa mengepul. Itu pun kalau cukup. Sungguh mengenaskan memang. Padahal jasa mereka sungguh luar biasa, tetapi penghargaan dan hak hidup layak mereka terabaikan. Makanya tidak sedikit guru ngaji yang kerja sambilan jadi tukang ojek, kuli bangunan, tukang sampah, atau tukang panggul beras di pasar. Kalau sampai di bulan Ramadhan ini mereka keliling kampung minta beras zakat fitrah, sulit untuk kita bebankan semua kesalahkan di pundak mereka begitu saja, bukan? Mungkin tidak salah salah kalau kita beri sebagian harta kita lebih banyak dari jatah seorang penerima beras zakat fitrah, tapi niatnya bukan zakat fitrah, tetapi infaq dan sedekah kita kepada seorang yang berjasa membela agama. Kalau kenyataannya mereka miskin dan hidup berkekurangan, maka sebenarnya mereka memang termasuk mustahiq zakat. Kalau mereka orang berkecukupan, tetap berhak mendapatkan upah atas jasanya, meksi bukan dari sumber zakat, tetapi dari sumber infaq lainnya. Namun tidak salah juga bila kualitas pengajaran mereka pun dikontrol dan dievaluasi. Sebab kita juga tidak ingin mereka hanya sekedar mengajar dan mengajar, tetapi yang diajarkan bukan sesuatu yang berkualitas. Maka perlu dibuat keseimbangan antara kualitas pengajaran dan upah yang didapat. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. Assalamu'alaikum w.w. Taqobbal Allahu Minna wa Minkum. Ustadz, saya mau nanya: 1. Kalau kami selaku Badan Amil Zakat, terus uang dari zakat tersebut dipinjamkan ke Mustahik, salah satunya ke fakir miskin, bolehkah? Artinya, kami ingin agar memberdayakan mereka supaya mandiri. Jadi kami kasih kailnya, bukan ikannya. Pinjaman tersebut tentu saja tidak berbunga. Dan kembali berjangka. Mohon penjelasannya. 2. Seandainya boleh, terus, jika mereka tidak bisa mengembalikan uang tersebut, apakah BAZ merelakan saja uang tersebut? Mohon penjelasannya, karena kami ingin mengentaskan kemiskinan dengan pemberdayaan zakat minimal di tingkat desa/kampung dahulu. Syukron. Wassalamu'alaikum w.w. Nono Taryono nono at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebagai amil zakat, tugas utama anda dan teman-teman adalah mengumpulkan harta dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Tentu dengan memenuhi semua syarat dan aturannya. Tugas utama sebuah Badan Amil Zakat sebenarnya hanya sebatas pada lalu lintas harta saja. Paling tidak, tugas itulah yang dibebankan oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat yang diangkat menjadi petugas zakat di masa lalu. Sedangkan tugas untuk mengangkat kesejahteraan umat atau memberdayakan mereka agar mandiri, memang tugas yang mulia. Tetapi kami berpendapat bahwa tugas itu tidak harus dikerjakan oleh sebuah institusi semacam Badan Amil Zakat. Mungkin lembaga lain yang punya para ahli di bidang enterprenership serta segudang pengalaman, rasanya lebih cocok melakukan tugas itu. Sebab kami yakin bahwa tujuan anda dan teman-teman ketika memberikan fasilitas pinjaman kepada para mustahik itu adalah semata-mata untuk mendidik mereka agar bisa berusaha sendiri dan mandiri. Dan kami yakin niat anda bukan untuk berbisnis dengan uang zakat. Maka menurut hemat kami, sebelum anda meluncurkan program peminjaman itu, latih dan didik dulu mereka dengan materi serta program yang memang akan mencetak mereka bisa mandiri. Setelah dianggap mampu dan lulus, barulah modali mereka. Jangan terbalik, Badan Amil Zakat akhirnya malah sekedar melakukan aktifitas perekonomian model bank yang kerjanya memberi pinjaman. Meski tanpa bunga, tetapi tugas amil zakat bukan memberi pinjaman, melainkan menyaluran harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Idealnya menurut hemat kami, sebagai pengurus Badan Amil Zakat, anda menggandeng lembaga pendidikan yang profesional dan dianggap mampu melahirkan peserta didik yang mandiri secara ekonomi dan pandai berusaha. Tentunya harus dipilih agar mereka juga termasuk orang yang mustahik zakat juga. Kepada mereka itulah anda salurkan harta yang bersumber dari pada wajib zakat. Dan kalau peserta didik itu sudah terampil, rasanya tidak perlu lagi dipinjamkan uang, tetapi berikan saja hak mereka. Toh memang uang itu telah ditetapkan sebagai milik mereka oleh agama ini. Urusan mendidik mereka, serahkan saja pada lembaga rekanan anda. Jadi kesibukan anda bisa fokus pada managemen pengumpulan dan pendistribusian harta saja. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.