SELAMAT DATANG

ASLKM ,,,,

LAZ AR-RAHMAH MAKASSAR YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENGUMPULAN DAN PENDISTRIBUSIAN ZAKAT, INFAQ,DAN SEDEKAH, MENAWARKAN KEPADA BAPAK, IBU, SAUDARA, TEMAN-TEMAN UNTUK MENJADI DONATUR DI LEMBAGA KAMI..BAGI YANG BERMINAT BISA MENGHUBUNGI KAMI DI NO

.0411 514 810

(082188950648),,

(085 256 668 824)

BISA DIJEMPUT ATAU MELALUI REKENING BANK MUAMALAT (ZISWAF) : 801.13157.22 A.N PRIHASTUTI BDN LAZ AR-RAHMAH

"SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN PAHALA ATAS APA YANG ANDA BERIKAN DAN MEMBERIKAN KEBERKAHAN PADA REZEKI YANG TERSISA "( HR.NASA'I )

ALAMAT KANTOR : JL.PAJJAIYANG NO.17 B DAYA KEC.BIRINGKANAYYA MAKASSAR

Email : lazarrahmah@gmail.com

Senin, 11 Juni 2012

Seputar Zakat

1. Zakat dan Biaya Membangun Rumah Saya mempunyai teman yang akan berzakat. Kalau dihitung dari gaji bulanan, telah mencapai nishob. Tetapi dia kebetulan sedang membangun rumah yang tentunya membutuhkan waktu yg tidak sebentar, dan biaya yg tdk sedikit. pertanyaan saya, apakah biaya pembangunan rumah bisa dijadikan pengurang dari harta yg wajib dizakati? Assalamu alaikum wr.wb. Pertama-tama perlu dipahami bahwa untuk zakat profesi, maka ia dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau pendapatan.Lalu Bagaimana cara menghitung dan cara mengeluarkannya? Dalam hal ini ada kalangan yang berpendapat bahwa zakat profesi itu harus dikeluarkan dalam keadaan kotor tanpa harus melihat kebutuhan atau pengeluaran seseorang. Juga tanpa harus melihat hutang-hutang yang dimilikinya. Ini adalah sebuah pandangan yang berbeda dengan pandangan lainnya. Menurut kelompok ini, semua uang yang masuk ke kantong seseorang harus dikeluarkan zakatnya senilai 2,5 % dari total penerimaan. Dan waktu pelaksanaannya adalah pada setiap saat menerima uang tersebut. Pendapat lainnya mengatakan bahwa bila seorang memiliki penghasilan, maka hendaknya dia keluarkan untuk kebutuhan pokoknya terlebih dahulu. Seperti untuk makan, pakaian, rumah, pendidikan anak, pembangunan rumah, dan seterusnya. Bila semua kebutuhan asasi untuk menunjang hidupnya telah terpenuhi, maka sisa atau kelebihanya itulah yang harus dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini, hutang-hutang pun dianggap bagian dari kepentingan atau kebutuhan hidup. Terutama hutang yang memang secara langsung berkaitan dengan hajat pokok pekerjaannya. Pendapat ini tidak mengatakan untuk memotong 2,5 % terlebih dahulu, tetapi keluarkan dahulu kebutuhan pokok baru kemudian kelebihannya dikeluarkan untuk zakat yaitu sebesar 2,5 %. Melihat dua kubu ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi mencoba mempertemukan kedua pendapat yang berbeda itu. Jalan tengah yang beliau tawarkan adalah memisahkan antara mereka yang memiliki pendapatan tinggi dengan yang pendapatannya rendah. Beliau mengatakan bahwa bagi kalangan yang pendapatannya sangat tinggi. seperti –katakanlah- dokter spesialis, konsultan hukum atau profesi lainnya yang dengan mudah bisa mendapatkan dana cukup besar dengan tanpa terlalu bersusah payah, maka sebaiknya menggunakan metode yang pertama dalam mengeluarkan zakat. Yaitu memotong 2,5 % dari pemasukan kotornya sebelum digunakan untuk kepentingan dirinya. Sedangkan mereka yang terhitung pas-pasan penghasilannya sedangkan tanggungan hidupnya cukup besar, maka disarankan menggunakan metode yang kedua, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu semua daftar kebutuhan pokoknya termasuk hutang-hutangnya. Setelah itu barulah dari sisanya dikeluarkan 2,5 % untuk zakatnya. Karena bila harus dikeluarkan dari pemasukan kotor, jelas akan sangat memberatkannya. Buat Anda sendiri, Anda bisa meminta fatwa kepada hati nurani Anda. Termasuk kelompok yang manakah diri Anda saat ini?Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum wr.wb. 2. Zakat Sebelum Membeli Emas Salamualaikum Ustadz, Selain mendapatkan gaji, saya juga punya pendapatan tidak tetap dari jasa. Biasanya saya belikan emas batangan untuk disimpan. Pertanyaannya, misalnya pada bulan tertentu saya mendapatkan 6 juta. Apakah saya keluarkan dulu 2,5% zakatnya baru dibelikan emas, atau saya tunggu 85 gram emasnya dulu baru saya keluarkan zakatnya. Terima kasih ustadz, semoga Allah memberkahi ustadz Assalamu alaikum wr.wb. Setiap kali Anda mendapatkan gaji, pendapatan, atau penghasilan hendaknya Anda langsung membayarkan zakatnya sebanyak 2,5 % jika gaji atau pendapatan tersebut (entah tetap ataupun tidak tetap) sudah mencapai nishab. Angka 6 juta rupiah tentu sudah melebihi nishab. Zakat profesi atau pendapatan dalam hal ini oleh sebagian ulama di analogikan kepada zakat pertanian dilihat dari sisi nishab dan cara pengeluarannya (setiap kali panen atau mendapat penghasilan) serta dianalogikan dengan emas atau mal dari sisi prosentase zakatnya (2,5%). Jadi ketika Anda mendapatkan pendapatan yang mencapai atau melebihi nishab hendaknya langsung dibayarkan zakatnya sebesar 2,5%. Lalu kalau kemudian sisanya dibelikan emas, maka akan terkena zakat emas apabila jumlahnya sudah mencapai 85 gram dan sudah dimiliki selama setahun. Wallahu a'lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb. 3. Menyikapi Barang Temuan (LUQATHAH) Adi Assalamu'alaikum wr.wb. 1. Apabila kita menemukan uang senilai Rp 100 rb di jalan, apakah ini bisa kita kategorikan harta temuan dan wajib dizakati? Mengingat apabila diumumkan siapa yang memilikinya akan sangat kesulitan berkenaan dengan media dan biayanya. Bagamana sebaiknya? 2. Bagaimana apabila yang kita temukan berupa barang? Wassalamu'alaikum wr.wb. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: Uang yang kita temukan di jalanan pastilah ada pemiliknya. Dan pemiliknya itu adalah orang yang paling berhak untuk memilikinya kembali. Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih, kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus dilakukan. Bila Menemukan Barang Hilang, Apa Yang Harus Dilakukan? a. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram. b. Al-Malikiyah mengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya. c. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan. d. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya. Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang. Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya. Bila Tidak Ada Yang Mengakui? Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 4. Perhitungan Zakat Bagi Penanggung Hutang Abu Izzat Assalamu'alaikum Wr. Wb. Para Ustadz yang dimuliakan Allah...Alhamdulillah saat ini saya sedang bekerja sebagai Konsultan Manajemen pada Program Pengembangan Kecamatan dan untuk menunjang kerja saya (karena harus melakukan kunjungan lapangan) maka saya telah mengambil Kendaraan dengan cicilan Rp. 2.900.000,-/bulan. Sedangkan penghasilan saya kurang lebih Rp. 6.000.000,- tiap bulannya. Pertanyannya, berapa besarnya zakat Profesi yang harus saya bayar dan sebaiknya tiap bulan atau tiap tahun zakat tersebut saya bayarkan? Jazakumullah kairan katsiiran atas kesediaan Ustadz untuk menjawab pertanya saya ini. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: Aturan zakat profesi memang masih sering menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan para ulama kontemporer. Sehingga bila nantinya Anda mendapatkan beberapa versi penghitungan yang beragam, jangan terlalu kaget. Karena masing-masing fuqoha memang memiliki persepsi dan hujjah sendiri-sendiri dalam memandang bentuk pelaksanaan zakat profesi. Dari apa yang kami telaah, ada kalangan yang berpendapat bahwa zakat profesi itu harus dikeluarkan dalam keadaan kotor tanpa harus melihat kebutuhan atau pengeluaran seseorang. Juga tanpa harus melihat hutang-hutang yang dimilikinya. Ini adalah sebuah pandangan yang berbeda dengan pandangan lainnya. Menurut kelompok ini, semua uang yang masuk ke kantong seseorang harus dikeluarkan zakatnya senilai 2,5 % dari total penerimaan. Dan waktu pelaksanaannya adalah pada setiap saat menerima uang tersebut. Misalnya para selebriti, konsultan, dokter spesialis dan lain-lain. Setelah diptong 2,5 % barulah sisanya digunakan untuk semua kebutuhannya termasuk membayar cicilan hutang. Pendapat lainnya adalah yang mengatakan bahwa bila seorang memiliki penghasilan, maka hendaknya dia keluarkan untuk kebutuhan pokoknya terlebih dahulu. Seperti untuk makan, pakaian, rumah, pendidikan anak dan seterusnya. Bila semua kebutuhan asasi untuk menunjang hidupnya telah terpenuhi, maka sisa atau kelebihanya itulah yang harus dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini, hutang-hutang pun dianggap bagian dari kepentingan atau kebutuhan hidup. Terutama hutang yang memang secara langsung berkaitan dengan hajat pokok pekerjaannya. Pendapat ini tidak mengatakan untuk memotong 2,5 % terlebih dahulu, tetapi keluarkan dahulu kebutuhan pokok baru kemudian kelebihannya dikeluarkan untuk zakat yaitu sebesar 2,5 %. Ketika melihat dua kubu ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi mencoba mempertemukan kedua pendapat yang agak berbeda. Jalan tengah yang beliau tawarkan adalah memisahkan antara mereka yang memiliki pendapatan tinggi dengan yang pendapatannya rendah. Beliau mengatakan bahwa bagi kalangan yang pendapatannya sangat tinggi seperti –katakanlah- dokter spesialis, konsultan hukum atau profesi lainnya yang dengan mudah bisa mendapatkan dana cukup besar dengan tanpa terlalu bersusah payah, maka sebaiknya menggunakan metode yang pertama dalam mengeluarkan zakat. Yaitu memotong 2,5 % dari pemasukan kotornya sebelum digunakan untuk kepentingan dirinya. Dan kelihatannya pendapat beliau ini realitis. Kita bisa bayangkan bila ada artis yang sekali manggung dibayar Rp. 15 juta, maka bila dia keluarkan 2,5 % saat menerima honor yaitu sebesar Rp. 375.000,- tentu tidak terasa berat. Bahkan buat kalangan mereka, uang segitu mungkin sekedar biaya jajan bakso di pinggir jalan sambil mentraktir teman lama. Sedangkan mereka yang terhitung pas-pasan penghasilannya sedangkan tanggungan hidupnya cukup besar, maka disarankan menggunakan metode yang kedua, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu semua daftar kebutuhan pokoknya termasuk hutang-hutangnya. Setelah itu barulah dari sisanya dikeluarkan 2,5 % untuk zakatnya. Karena bila harus dikeluarkan dari pemasukan kotor, jelas akan sangat memberatkannya. Buat Anda sendiri, Anda bisa meminta fatwa kepada hati nurani Anda. Termasuk kelompok yang manakah diri Anda saat ini ? Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 5. Kriteria Fakir Dan Miskin Oan Assalamu'alaikum wr. wb., 1. Dalam menyampaikan zakat maal, selain dapat menyalurkan melalui Badan Amil Zakat, apakah dapat langsung menyampaikan kepada orang fakir dan orang miskin? 2. Mohon penjelasan kriteria dari orang fakir dan orang miskin. 3. Apakah mendahulukan kepada keluarga/kerabat lebih baik dari pada memberikan zakat kepada orang lain. Terima kasih, Wassalam. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d: 1. Dalam membayarkan zakat maal, muzakki diperbolehkan membayarkan langsung kepada mustahiqnya atau melalui amil zakat. 2. Fakir dan miskin adalah golongan orang-orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dan apabila kata miskin disebutkan secara sendiri maka kata tersebut mencakup juga golongan fakir demikian juga sebaliknya. Tetapi jika keduanya disebutkan secara berbarengan, para ulama berbeda pendapat tentang mana diantara mereka yang paling memerlukan bantuan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“ (QS. At-Taubah : 60 ) Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa orang fakir lebih memerlukan bantuan daripada orang miskin, karena Allah SWT menyebutkan golongan tersebut lebih dulu dalam ayat diatas. Ini menunjukkan bahwa keadaan mereka lebih parah daripada keadaan orang-orang miskin. Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: ”Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera“ (QS. Al-Kahfi : 79) Ayat ini menjelaskan menegaskan bahwa orang miskin itu lebih baik keadaannya daripada orang fakir dikarenakan mereka memiliki perahu atau bahtera yang dapat dijadikan alat untuk mencari nafkah. Di samping itu, dari asal kata, kata fakir adalah isim fa’iil yang bermakna maful yaitu orang yang dipatahkan tulang rusuknya. Sedangkan kata miskin terambil dari kata as-sukun (diam atau tenang) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang patah tulang rusuknya lebih parah kedaannya daripada orang yang diam (tidak bekerja) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa orang miskin lebih parah kondisinya daripada orang fakir sebagaimana firman Allah SWT : ”atau kepada orang miskin yang sangat fakir“ (QS. Al-Balad :16) Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita pahami bahwa kriteria seseorang dikatakan miskin atau fakir adalah jika orang tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. Dalam kondisi tertentu, memberikan zakat kepada kerabat yang bukan tanggungan adalah lebih utama daripada memberikannya kepada orang lain. Dalam Majmul Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah ditanya tetang persoalan shodaqoh yang diberikan kepada kerabat yang membutuhkannya dan kepada yang lainnya? Beliau menjawab: “Jika harta yang diberikan tersebut tidak mencukupi untuk kerabat dan orang lain, maka memberikannya kepada kerabat adalah wajib, maka orang lain tidak perlu diberikan selama ada kerabat yang membutuhkannya. Sedangkan zakat dan Kaffarat, maka hal tersebut boleh diberikan kepada kerabat yang bukan menjadi tanggungannya, bahkan kerabat tersebut lebih utama untuk diberikan daripada orang lain jika kondisi dan keadaan mereka adalah sama” (Majmu’ul Fatawa XXV/93) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 6. zakat perniagaan Assalamualaikum wr. wb. Pertanyaan: Pak ustadz yang dirahmati Allah, saya dan suami saya saat ini mempunyai usaha makanan dengan modal keseluruhan 12 juta yang saya dapatkan dari pinjaman, sedangkan modal berputar 1 juta, dengan pendapatan 200rb/hari, hasil dari berdagang kami gunakan untuk membayar sewa tempat dan makan sehari-hari, yang mau saya tanyakan 1. Bagaimana cara menghitung zakatnya, sedangkan hasil dagang sebagian untuk membayar hutang 2. bagaimana jika dalam 1 tahun uangnya tidak tersisa, apakah zakat niaga tetap hrs dikeluarkan 3. bagaimana menghitung zakat penghasilan yang tidak menentu dari profesi sebagai marketing. Terima kasih. Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Zakat perdagangan dikeluarkan jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Usaha perniagaan atau perdagangannya sudah mencapai haul (satu tahun). 2. Sudah mencapai nishab (kadar minimal mengeluarkan zakat) yaitu senilai 85 gram emas. Cara menghitungnya: (modal berputar + piutang + keuntungan) - (hutang + rugi). Kadar zakatnya sendiri adalah 2,5%. Jadi, jika usaha Anda sudah berlangsung selama satu tahun lebih lalu juga sudah mencapai nishab, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Namun jika tidak mencapai setahun, atau tidak mencapai nishab, maka ia tidak wajib dizakati. Wallahu a'lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb. 7. Zakat Tanah, Sedangkan Sertifikat Tidak Ada Abdullah Pertanyaan Assalamu'alaikum, ustadz-ustadz pusat konsultasi syariah yang semoga selalu dirahmati Allah.. Saya bbrp bulan yang lalu membeli tanah dengan bantuan uang rumah dari perusahaan tempat saya bekerja. Uang itu diberikan dengan kondisi: sertifikat tanah dipegang perusahaan selama 15 tahun saya bekerja di perusahaan tsb dan selama itu saya tidak diperkenankan keluar utk pindah kerja dari perusahaan ini. Bila ingin keluar, saya harus membayar sejumlah uang sebagai ganti uang rumah tadi. Sampai saat ini saya belum punya cukup uang utk membangun rumah di atas tanah tsb. Saya sendiri sebelumnya sudah punya rumah. Haruskah saya mengeluarkan zakat atasnya. Kalau harus, berapa kadarnya ? Syurkon atas jawabannya Wassalamu'alaikum Jawaban Assalamu `alaikum Wr. Wb. Diantara syarat dari harta yang wajib dizakati adalah bahwa harta itu tumbuh (an-Nama'). Yang dimaksud dengan harta yang tumbuh atau berkembang adalah harta yang bisa dijadikan sebagai modal atau sarana mengembangkan nilai harta itu. Dan sebaliknya, yang tidak berkembang maksudnya adalah harta yang memang digunakan sehari-hari oleh pemiliknya untuk manfaat dan sarana hidupnya secara langsung atau tidak memberikan pemasukan atau keuntungan. Sebagai contoh harta yang berkembang dan tidak berkembang adalah Tanah dalam Islam tidak termasuk harta yang harus dizakati, kecuali jika tanah tersebut diberdayakan misalnya dengan ditanami atau disewakan. Begitu juga dengan kendaraan. Bila kendaraan itu digunakan oleh pemiliknya sarana mengembangkan harta itu dengan menyewakannya sebagai taksi atau kendaraan carteran, maka dikatakan harta itu berkembang dan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan bila dia menggunakan sendiri untuk keperluan sehari-harinya dalam bepergian, maka dikatakan harta yang tidak berkembang dan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh lainnya adalah bangunan rumah. Apabila ditempati sendiri untuk dirinya dan keluarganya sebagai tempat tinggal, maka rumah itu bukan harta yang berkembang. Tetapi bila disewakan kepada orang lain sehingga ‘berkembang’ alias memberi pemasukan, maka rumah itu dikatakan harta yang berkembang. Karena itu sejak awal para ulama tidak mewajibkan pemilik kuda untuk mengeluarkan zakat hewannya itu, karena kuda bukan termasuk harta yang dikembangkan. Kuda pada masa itu dijadikan alat transportasi sehari-hari bagi setiap orang. Sebaliknya, memiliki sapi, kambing atau unta adalah bentuk usaha yang sifatnya mengembangkan harta. Sehingga memiliki hewan-hewan itu untuk sengaja diternakkan akan melahirkan kewajiban zakat. Begitu juga dengan kepemilikan perhiasan emas dan perak. Bila emas dan perak itu merupakan pakaian yang dikenakan oleh wanita, maka bukan termasuk harta yang dikategorikan berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Sebaliknya bila emas itu disimpan sebagai tabungan, maka jadilah dia barang yang berkembang sehingga wajib dizakati. Karena bila seserang memiliki tanah tapi tanah itu diam tidak berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat. Namun bila tanah itu berubah menjadi harta yang tumbuh seperti ditanami atau disewakan kepada pihak lain, barulah saat itu ada kewajiban zakat. Dalam kasus ini jika tanah tersebut ditanami dengan tanaman produktif, maka zakatnya mengikuti kepada aturan zakat pertanian. Atau bila disewakan, maka jadilah dia harta yang tumbuh dan memberikan pemasukan. Zakatnya adalah mengacu kepada zakat investasi. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 8. Berpesan Kepada Muzakki Aan Pertanyaan Assalamu’alaikum, Saya ingin bertanya, ketika kita menyerahkan zakat maal kita kepada muzakki, bolehkah kita berpesan kepadanya misalnya agar uang zakat tsb digunakan untuk tambahan modal kerja? Mengingat bahwa ketika uang zakat telah diberikan maka cara penggunaannya adalah 100% hak penerima. Jazakallah khairan katsiran. Wassalam. Jawaban Assalamu`alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Pesan tentu saja berbeda dengan syarat, sehingga kalau sekedar berpesan kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat bukan muzakki) agar dia menggunakan uangnya dengan sebaik-baiknya atau untuk modal kerja, boleh-boleh saja. Namun pesan itu bukanlah syarat yang mengikat. Sehingga Anda sebagai pemberi zakat (muzakki) tidak berhak untuk mencabut kembali harta itu bila ternyata si penerima zakat tidak melakukan pesan anda. Karena seperti kata anda, dana zakat itu bila telah diserahkan kepada yang berhak, maka dia 100 % punya hak untuk menggunakannya. Namun memang sebaiknya dana zakat itu dikelola oleh sebuah lembaga profesional yaitu amil baik dalam bentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun Badan Amil Zakat (BAZ). Dimana mereka lah nantinya yang berkewajiban untuk mengarahkan dan melatih serta menyiapkan para fuqara dan masakin agar bisa lebih memberdayakan dana zakat yang telah mereka terima. LAZ/BAZ ini pula yang berkewajiban untuk memberikan 'kail', melatih memancing serta memberikan lahan untuk memancing kepada mereka itu. Sedangkan kewajiban kita sebagai muzakki hanya sebatas menyetorkan harta zakat kita kepada amil zakat (LAZ/BAZ). Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 9. Perhitungan Zakat Pakai Qomariyah/Syamsiyah? Qiwoy Al Bantani Assalamu'alaikum Wr. Wb 1. Jika kita ingin mengeluarkan zakat misal zakat profesi dengan mengakumulasikan perhitungan dalam satu tahun, maka peredaran tahun manakah yang digunakan bulan syawal bertemu syawal atau bulan desember bertemu desember? 1 tahun qomariyah atau samsiyah? 2. Jika kita membuka suatu usaha bersama dengan modal bersama berapa perhitungan zakatnya? Perhitungan berdasarkan besarnya modal yang terkumpul atau omzet atau profit yang didapat? apakah juga dihitung setelah dikurangi komisi yang dikeluarkan 3. Do'a apa yang hendaknya kita ucapkan saat mengeluarkan zakat? Wassalamu'alaikum Wr.Wb Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d 1. Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi. 2. Usaha yang dilakukan perlu dijelaskan terlebih dahulu seperti apa bentuknya, apa usaha jual beli, penyewaan, pertanian, peternakan atau lainnya. Kalau sifatnya adalah jual beli dengan bentuk membeli barang lalu menjualnya kepada pembeli, maka yang dizakati adalah modal yang berputar, sedangkan asset atau modal yang diam seperti rumah, gedung, alat-alat dan yang lainnya tidak termasuk yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya. Aturan lebih jelasnya silahkan anda baca masalah zakat perdagangan. Sedangkan kalau bentuknya sewa-menyewa, seperti menyewakan rumah, kendaraan, tanah dan lainnya, maka yang dihitung adalah pemasukannya. Setelah dipotong dengan biaya operaional dan sebagainya. Masalah lebih jelasnya silahkan anda baca dalam masalah zakat investasi. 3. Doa yang dibaca saat mengeluarkan zakat tidak kita temukan dalil yang shahihnya. Sebaliknya yang ada adalah doa yang diucapkan oleh amil zakat saat menerima setoran zakat untuk disalurkan kepada mutahiqnya. Hal itu sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW saat menerima penyaluran zakat : Dari Abdullah bin Abi Aufa ra berkata, "Bila ada satu kaum yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa zakat, maka beliau berdoa : " Allahumma Shalli 'alaa Aali Fulan." Kemudian bapakku datang kepada beliau dengan membawa zakat, maka beliau pun berdoa "Allahumma Shalli 'alaa Aali Abi Aufa" (HR. Bukhari) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 10. Perhitungan & Pembayaran Zakat Penghasilan Rahman Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setiap bulan saya melakukan pembayaran zakat (2.5%) atas penghasilan saya setelah dipotong dengan perkiraan pengeluaran selama 1 bulan. Nilai tersebut saya bagikan ke beberapa orang anak yatim sampai habis. Apakah cara pembayaran zakat yang saya lakukan sudah benar? Kalau salah bagaimana yang seharusnya berdasarkan Syar'i? Tolong sebutkan juga hadist2 yang berhubungan? Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Jawaban: Assalamu`alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Apa yang anda lakukan dalam mengeluarkan zakat (profesi) atas penghasilan anda sudah baik, yaitu mengeluarkan 2,5 dari penghasilan. Seandainya semua umat Islam yang telah berpenghasilan melakukan seperti apa yang telah Anda lakukan, maka kemiskinan di dunia ini bisa dengan mudah diatasi. Apalagi kita pun pernah secara empiris membuktikan kebenaran hal itu, yaitu ketika masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz di Damaskus. Saat itu, zakat telah berhasil mengubah orang menjadi berkecukupan sehingga tidak ada lagi ditemukan para mustahiq zakat. Rakyat telah mengalami kemakmuran yang merata dan merasakan kesejahteraan yang sesungguhnya. Bukan sekedar slogan dan perkataan, tetapi benar-benar terjadi. Saat itu ummat Islam berhasil menjalankan sistem zakat dimana seluruh wajib zakat melaksanakan kewajiban mereka secara sadar. Sehingga baitul mal menjadi penuh dan saat itulah sejarah mencatat bahwa kemiskinan betu-betul berhasil dientaskan. Namun kalau boleh sedikit memberi masukan kepada Anda, yaitu dalam masalah penyaluran zakat itu. Sebenarnya harta yang Anda keluarkan itu bisa terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat wajib yang kita sebut zakat dan yang bersifat sunnah yang sering kita sebut infaq atau sedekah. Zakat sebagai pengeluaran yang bersifat wajib, sesungguhnya telah memiliki aturan tersendiri. Misalnya tentang berapa besar yang harus dikeluarkan. Hitungan Anda sebesar 2,5 persen dari penghasilan bersih itu sudah tetap. Hanya ada hal yang juga perlu Anda perhatikan tentang kemana dana itu disalurkan. Khusus dalam masalah zakat, Allah SWT telah menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan saluran dana zakat itu. Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT menjelaskan bahwa zakat itu disalurkan kepada 8 kategori atau yang sering disebut dengan 8 ashnaf. Lengkapnya ayat itu adalah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] pengurus-pengurus zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk budak, [6]orang-orang yang berhutang, [7] untuk jalan Allah dan untuk [8] mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan .(QS. At-Taubah : 60). Jadi bukan untuk anak yatim karena di dalam ayat ini tidak disebutkan. Maka untuk anak yatim, diambilkan dari saluran lainnya selain zakat. Misalnya infaq sunnah Anda di luar yang 2,5 % dari penghasilan bersih Anda. Begitu juga dalam mekanisme penyalurannya, sejak dahulu yang namanya penyaluran dana zakat itu selalu ditangani oleh amil zakat, yaitu sebuah organisasi profesional yang melakukan proyek pengumpulan dana zakat atas wewenang dari Khalifah/Sultan. Karena mereka kerja secara profesional dan serius, maka Allah SWT pun sejak awal telah memberikan hak kepada mereka untuk mendapatkan bagian dari dana zakat itu. Di masa sekarang ini dimana kita hidup di luar sistem khilafah Islam, maka peran lembaga itu bisa digantikan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) yang kini sudah sangat banyak di sekitar kita. Peran LAZ/BAZ inilah yang ditunggu oleh ummat untuk mengentaskan kemiskinan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz di masa lalu. Untuk itu semua elemen umat Islam ini harus turut menyukseskannya dengan menyalurkan dana zakat ke LAZ/BAZ yang resmi. Agar dana zakat itu bisa lebih efektif dan efisien dikelola secara profesional. Karena itu sebaiknya Anda tidak memberi langsung dana zakat, tetapi seotran ke LAZ/BAZ yang terdekat dengan Anda. Ini sifatnya wajib karena merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Kalau seseorang menolak mengeluarkan zakat, maka Allah SWT telah menyediakan berbagai macam ancaman yang pedih. Adapun bila Anda ingin mendapatkan harta dan rezeki yang berkah dan lebih berlimpah, Anda bisa mengeluarkan infaq sunnah atau sedekah tambahan kepada anak-anak yatim yang menurut Anda memang berhak. Namun dana di luar dana zakat yang Anda setorkan ke LAZ/BAZ. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 11. Menginvestasikan Harta Zakat Syafiatul Rochmah Pertanyaan: 1.Bagaimana hukum menanamkan harta zakat sebagai modal dalam industri proyek ekonomi seperti pembangunan perumahan dll? 2. beserta referensi yang dapat dibaca kembali! Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d. Harta zakat itu pada prinsipnya adalah hak 8 asnaf sebagaimana yang disebutkan di dalam surat At-Taubah ayat 60. Dan tugas dari amil zakat adalah bagaimana mengumpulkan harta zakat dari orang-orang kaya yang wajib berzakat lalu menyalurkannya kepada orang-orang tadi. Sedangkan bila amil zakat ingin memanfaatkan dana zakat yang telah terkumpul, maka pada dasarnya mereka telah menggunakan harta yang bukan hak mereka. Kecuali bila telah ada kesepakatan antara para amil zakat itu dengan para mustahik zakat bahwa harta zakat yang telah menjadi hak mereka dikoordinir oleh amil zakat untuk membangun rumah. Atau pengecualian lainnya adalah bila status dana yang digunakan itu bentuknya adalah pinjaman baik secara al-qardhul hasan (pinjaman bebas bunga) maupun akad murabahah. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW dimana ada seorang shahabat yang meminjam uang dari baitul mal untuk dibelikan kambing, lalu ketika sudah untung, maka dia mengembalikan dengan kambing yang lebih baik. Tapi kebijakan untuk boleh meminjamkan dana zakat ini harus dibuat seketat mungkin, karena pada prinsipnya dana itu adalah amanah dan hak milik para mustahik. Jangan sampai masih ada mustahik yang kelaparan, tapi dana zakatnya malah dipinjam-pinjamkan kepada pihak lain yang sudah kekenyangan. Apalagi masih ada resiko pinjaman itu tidak dikembalikan dan sebagainya. Maka tentu hal itu akan menimbulkan masalah baru. Namun ada juga pendapat ulama yang membolehkan dana zakat digunakan untuk membangun proyek usaha, asal hal itu memang dilakukan oleh pihak negara sebagai penanggung-jawab dari amilin. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-Khattab dan juga Imam Atho dari kalangan tabi’in yang intinya membenarkan bila negara menggunakan uang zakat itu untuk proyek yang menguntungkan dan keuntungannya digunakan sepenuhnya untuk para mustahik. Keterangan ini kami dapat dalam kitab Fiqih Zakat karya Al-Qaradawi pada halaman 532. Menganalogikan hal itu, Dr. Didin Hafidhuddin membolehkan bila Lajnah Zakat melakukan hal serupa. Namun dia mengedepankan masalah bahwa lajnah zakat itu seharusnya adalah yang profesional, amanah dan jujur yang melakukan usaha produktif dari dana zakat. Menurut beliau, dana zakat bukan pemberian sesuap dua suap nasi dalam jangka sehari dua hari kemudian para mustahik menjadi miskin lagi, tapi dana zakat itu harus bisa memenuhi kebutuhan hidup secara lebih baik dalam waktu yang relatif lama. (lihat Panduan Zakat Bersama KH. Didin Hafidhuddin hal. 145). Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar